ada rasa geram dalam mulutku, ketika kau berjalan sendiri disana.
tanpa menoleh, tanpa menyapa.
hasratku ingin memanggil, atau sekedar menyadarkan matamu bahwa ada asa ingin mencinta.
sayang, kau selalu sibuk dengan langit-langit harap.
hingga aku tak lagi berwujud, hingga aku tak lagi berbayang.
namun mata dadu dengan enam titik dari Tuhan masih berpihak padaku, ia memberika lipatan kesempatan.
hingga aku meminta agar Ia mencuri perhatianmu untuk kedua tangan dan kakiku.
di pinggir jalan yang aku duduki, kau kini datang dengan senyuman.
anginpun ikut menyampaikan kabar gembira bahwa kini kau tak sekedar lewat.
bahwa kini kita saling menatap
di pinggir jalan yang aku duduki, kaki kaki kita berdekatan, di titik Nol Kilometer.
duhai, adakah aku bisa tersenyum sekarang? menyapa mu di Nol Kilometer...
aku tidak selalu bisa menulis jika kau ada, juga jika kau tak ada. namun kecintaan untuk menulis semakin mengesankan setelah kau ada.
Selasa, 30 Juli 2013
Kamis, 25 Juli 2013
ketahuilah, bahwa aku selalu menunggu mu
meski kerapkali, kau tidak mempedulikanya
hingga kapan, aku pun tidak tahu
bahkan almanak di dinding itupun tidak memiliki tanggal
hingga hanya suara tetesan air dalam sunyinya malam yang terdengar
aku selalu menunggumu
dibawah langit-langit kamar yang penuh dengan harap
meski terkadang ini terasa sesak dan gelap gulita
hingga akan datang cinta-cinta yang lain
namun aku selalu menunggumu
kau mungkin akan pulang, mungkin juga tidak...
namun aku akan selalu menunggu
meski kerapkali, kau tidak mempedulikanya
hingga kapan, aku pun tidak tahu
bahkan almanak di dinding itupun tidak memiliki tanggal
hingga hanya suara tetesan air dalam sunyinya malam yang terdengar
aku selalu menunggumu
dibawah langit-langit kamar yang penuh dengan harap
meski terkadang ini terasa sesak dan gelap gulita
hingga akan datang cinta-cinta yang lain
namun aku selalu menunggumu
kau mungkin akan pulang, mungkin juga tidak...
namun aku akan selalu menunggu
Selasa, 23 Juli 2013
kue untuk sang nona
Senja yang sejuk. Aku berpakaian rapih dengan stelan kemeja putih bergaris-garis hitam dengan menggulung lengan baju, memakai celana jeans yang masih bersih, dan mengikat rambut panjangku. kemudian menghampiri pria bercelemek di dapur rumah. Nama pria itu Rama, Paman terbaikku.
“hati-hati dan jangan sampai rusak, wanita selalu tidak menyukai pemberian yang
berantakan.” Ucapnya tersenyum.
“tentu Paman.” Aku mengambil
bingkisan cantik itu dari tanganya. Bingkisan berisi kue-kue manis buatan Paman
sendiri untuk wanita pujaanya.
Aku pergi ke sebuah rumah yang sudah Paman tunjukan lewat secarik
kertas berisi alamat. Paman bilang, ia sering mengirimkan kue dan wanita itu
selalu menyukai kue-kue manisnya terutama saat peringatan hari-hari besar.
“Tiara House”, ucap diriku sendiri membaca tulisan di depan rumah tersebut.
Aku menekan bel, sekali, dua kali, tiga kali. Tidak ada yang
membukakan pintu. Hingga bel keempat barulah seorang anak kecil membuka pintu.
“halo cantik, apa Tiara ada dirumah? Aku membawakan bingkisan, dari
Paman Rama.” ucapku ramah. Anak itu hanya diam menatapku. Aku kembali
bertanya dengan lembut namun anak itu tetap diam.
“apa kau mencari Tiara?” Tanya seseorang dari samping rumah. Aku
mengangguk.
“ia sedang tidak ada, 2 hari yang lalu ia dirawat di rumah sakit
untuk operasi angkat lemak, dan minggu depan ia akan menikah dengan seorang
Dokter.”
Duhai Paman, betapa wanita ingin terlihat seksi, dan sepertinya kau
tidak akan bisa memberi cinta yang manis untuk Nona Cantik lewat bingkisan kue-kue
mu lagi.
Langganan:
Postingan (Atom)