Sabtu, 17 Agustus 2013

Anggrek Dan Senja


aku bercermin di meja rias kamarku. ternyata benar, aku sudah semakin tua. sudah tidak pernah lagi aku sempat pergi ke salon atau sekedar membeli make up mahal untuk wajah dan kulit. ah, tetapi apa benar semua ini karena aku yang sudah semakin tua? bukankah suamiku sejak bertemu dulu tidak pernah mempermasalahkan aku bagaimana dan memakai apa. atau mungkin karena perasaannya yang terluka? namun bukankah aku sudah meminta maaf beribu kali? mengatakanya siang dan malam, mengukir maaf pada dada waktu yang terus berdetak menyeret keharmonisan ini.
aku keluar dari kamar. melihat ruang keluarga yang semakin hilang kehangatanya. putri-putriku pasti sudah tidur, ini sudah larut malam. namun suamiku belum juga pulang. aku mengintip lewat tirai jendela. tidak ada tanda-tanda kepulangannya. napasku terasa panas. berdesah semakin dalam. aku mengambil telepon genggam dan menghubunginya.
“tidurlah, sudah larut malam. aku tidak tau sampai rumah pukul berapa.” ucapnya memutuskan pembicaraan kami di telpon.
****
hanya suara benturan sendok diatas piring yang bercakap-cakap di pagi ini. sedang pemilik tangan-tangan itu tidak mengatakan apapun, termasuk dua putri kecil yang sedari tadi khusuk dengan sarapanya. aku melirik kearah suamiku, ia terlihat datar. sama seperti hari kemarin.
“apa kau akan pulang larut malam lagi?” tanyaku memecahkan suasana kaku. suami ku tidak menjawab, ia hanya menghela napas. kedua putriku saling menatap bingung.
“kau ini kenapa? aku merasa sangat kaku dan kau selalu tidak banyak bicara.” ucapku kesal. ah, akhirnya kekesalanku terlontar juga.
“kau yang kenapa! mengapa tidak sekalian kau ambil saja jantungku dan membuangnya jauh-jauh? untuk apa terus bertanya sementara lelaki itu masih melekat di pikiranmu!” jawabnya sambil melempar sendok kepiring lalu bergegas pergi. sunyi. putri-putriku hanya saling menatap kosong, lalu menunduk.
****
            mengapa satu kesalahan selalu dapat menghapuskan seribu kebaikan?

            mengapa satu dusta selalu dapat menghapuskan sejuta cinta?

lalu dimakah maaf? bukankah maaf selalu bisa menyertai cinta? bukankah puisi-puisi dan nyanyian cinta selalu bisa membuatmu tersenyum setiap kali tertoreh luka?
aku menutup pintu rumah, menguncinya. lalu masuk kekamar dan menangis sejadi-jadinya. setelah mengantar kedua putriku kesekolah dengan wajah “palsu”. aku harus menahan tangis dan terus tersenyum ramah kepada putri-putriku. dan sekarang, tangis itu bertumpah ruah mengaliri pipi-pipi dan daguku. kalau saja percakapan yang menyakitkan itu tidak terjadi di depan anak-anak, kalau saja percakapan yang menyakitkan itu tidak terjadi diatas meja makan…
****
3 bulan yang lalu
aku mengangkat pot bunga anggrek ungu dari meja depan ke meja samping. membenahi pot-pot bunga yang selalu cantik adalah kesenangan tersendiri untuk ku. suamiku yang baik, ia membuatkan sebuah nursery di depan rumah kami setelah anak pertamaku lahir. ia bilang “kini kau sudah tidak bekerja di kantor. itu adalah sebuah pengorbanan yang sangat besar karena kau rela melakukanya demi tugas utamamu, yaitu menjadi ibu dan seorang istri. aku sangat senang sayang, untuk itu aku membuatkan nursery di depan rumah. karena kau selalu menyukai bunga-bunga. disini kau dapat menungguku pulang sambil bercengkrama dengan putri kita.”
sebab itu jugalah aku selalu mencintai nursery ini, yang tidak lain karena ini merupakan salah satu perwujudan cinta antara aku dan suamiku. sudah hampir 11 tahun kami menikah, dan nursery ini sudah berusia 10 tahun. 10 tahun yang penuh cinta, penuh bunga-bunga yang bernyanyi dan berpuisi.
hingga kemudian aku bertemu seseorang itu, senja di akhir bulan November.
“bisakah aku membeli beberapa ikat bunga anggrek? anggrek putih.” Tanya seorang lelaki bertubuh tinggi. Mbak Nuri (pegawai di nursery ku) menggangguk, ia menunjukan beberapa pot bunga anggrek yang sudah bisa dipetik. lelaki itu menunjuk bunga yang ia pilih, lalu dengan cepat Mbak Nuri membungkusnya.
“berapa harganya?” Tanya lelaki itu ramah. Mbak Nuri menyebutkan nominal. sedang aku tidak menyadari kedatngan lelaki itu. aku masih sibuk menata pot-pot bunga anggrek.
“disini melayani jasa antar bunga kan?” Tanya nya lagi kepada Mbak Nuri. “jika iya, tolong antarkan bunga ini.”
“kemana? alamatnya mas.” Tanya Mbak Nuri ramah. lelaki itu tersenyum. lalu menunjukan jari telunjuk tangan kanannya ke suatu arah. “kesana. ke wanita itu.” ucapnya sambil tersenyum sambil menunjuk kearahku. Mbak Nuri mengerutkan keningnya, tak lama kemudian ia menurut saja. membuatku kaget.
“apa ini?” tanyaku aneh sambil menepuk nepuk kedua tanganku yang kotor.
“dari Mas yang disana Bu.”
aku menoleh. aku melihat sepasang mata yang dulu sangat aku kenal. sepasang mata yang sering membuat malam-malamku terasa panjang. sepasang mata yang dulu selalu aku inginkan menjadi milik ku.

****
burung-burung berterbangan pulang. langit semakin menunjukan bercak-bercak kemerahan yang indah. hangat. dan teh yang mengepul di depan kami masih belum tersentuh sedikitpun. ia menatapku dengan wajah yang bersinar. sedangkan aku hanya tertunduk diam.
kepalaku dipenuhi sejuta tanya. sedang kenangan-kenangan masa lalu kembali terbuka dan meminta untuk aku singgahi. perasaan-perasaan itu. rindu-rindu itu. sudah 11 tahun lamanya rasa itu terkubur mati, sedang sebelumnya aku harus melewati malam-malam yang sesak dan cucuran air mata yang tidak pernah kering. lalu mengapa hanya dengan satu jam saja semua kenangan itu datang? ia dengan mudahnya mengukung ku kembali.
“untuk apa kesini.” ucapku datar.
“untuk menemui mu, Rose.”
“darimana kau tau alamatku.”
“aku selalu tau dimana kau berada Rose, kau lupa? hatiku selalu mengikuti hatimu.”
jawaban lelaki itu menyayat ku. jawaban yang sama dengan 13 tahun lalu ketika kenangan-kenangan itu masih terasa indah. aku menghela napas dalam. mencoba mengumpulkan perasaan untuk berbicara lebih banyak dengan lelaki ini.
“pergilah Dam. kedatangan mu sama sekali tidak membuatku senang.” lelaki itu terdiam sejenak mendengar ucapakanku. kemudian kembali terseyum ramah. “Rose, aku selalu merindukanmu. ikutlah denganku, kita pulang.”
“pulang? tidak ada kepulangan lagi antara aku denganmu Dam. kita sudah mengakhirinya sejak lama. tidak ada kata pulang lagi Dam.”
lelaki itu tersenyum. ia menyentuh pinggiran cangkir dengan bibirnya. mencoba merasakan teh yang mungkin sudah dingin. “baiklah Rose. jika kau tidak mau pulang hari ini. mungkin kau akan mau besok, atau lusa.”
****
senja yang sejuk. angin berlarian dengan indah, menyapu lembut wajahku dan putri-putri ku yang sedang asik menciumi bunga. si bungsu berlarian kecil sambil tertawa. sedangkan si sulung  membantuku merangkai bunga sambil ikut tertawa melihat adiknya. si bungsu berlaria kedepan nursery, mengitarinya sambil membawa setngkai bunga.
lalu tak sengaja ia menabrak seseorang, lelaki itu.
lelaki itu berjongkok dan tersenyum ramah pada si bungsu. mengacak-acak rambutnya dengan lembut dan berkata, “kau sangat cantik seperti ibumu.”
putri bungsuku tersenyum mendengarnya. “aku lebih cantik dari ibu.” ucapnya sambil berlari ke pelukanku. lelaki itu mengikuti dan kini ia berdiri di depanku.
“Rose, anak-anak mu sungguh lucu. siapa namanya?” tanyanya sambil memandangi kedua putriku. aku tidak menjawab apapun. tidak seharusnya anak-anak bertemu dengan lelaki itu.
“aku Mawar, om. dan adik ku bernama Edelwis.” jawab putri sulung ku. lelaki itu tersenyum ramah mendengarnya.
aku meminta Mbak Nuri membawa anak-anak masuk kedalam rumah, “sudah sore” ucapku padanya.
“Rose, kau terlihat sangat bahagia.” ucapnya saat kami sudah duduk di bangku kayu yang terletak di depan nursery. “kau pasti akan lebih bahagia jika ikut denganku.”
“tidak Dam, aku sudah mengatakanya kemarin.”
“kau masih mencintaiku.”
“tidak, sudah tidak ada lagi. semuanya habis. kini aku mempunyai cinta yang baru. yang selalu baru dari suamiku.”
lelaki itu menatap kosong ke langit. namun bibirnya masih tersenyum.
“aku kembali untuk mu Rose. aku ingin kau bersamaku lagi. lupakanlah semua kenangan pahit kita Rose. aku berjanji tidak akan ada luka lagi.”
daun-daun kering berterbangan merangkul debu. matahari semakin turun dan langit dengan bercak merah semakin terlihat luas. aku tidak kuasa menatap wajah lelaki itu, juga tidak bisa untuk kenangan-kenangan itu.
“aku tau kau masih mencintai ku Rose.” ucapnya kembali. “kau mencintaiku lewat bunga-bunga anggrek mu.”
****
aku tidak bisa tidur. malam ini terasa panjang dan mulai sesak. aku melirik suamiku yang sudah tertidur lelap. guratan wajahnya sedikit terlihat, teduh dan menyenangkan. apa yang sedang aku fikirkan? kau akan sangat jahat sekali bila teringat lelaki itu lagi. buru-buru kubuang jauh bayangan lelaki yang menemuiku sore tadi.
kau mencintaiku lewat bunga-bunga anggrek mu.”
ucapannya masih terngiang. bunga-bunga anggrek. aku sangat kacau memikirkan hal itu. hal yang seharusnya sudah aku fikirkan sejak dulu ketika suamiku akan membuat sebuah nursery. bunga-bunga anggrek. bunga yang selalu memberi kenangan manis padaku, dahulu dan sekarang. anggrek yang bermekaran, berwarna-warni, menghidupi cintaku padanya.
“apa kau suka bunga?”
“haha. mengapa kau bertanya seperti itu? setiap wanita tentunya menyukai bunga.”
“apa kau menyukai anggrek?”
“anggrek? hemm itu bunga yang indah. tetapi aku biasa saja. untukku bunga itu sama seperti bunga-bunga lain.”
“kalau begitu, mulai saat ini bunga anggrek tidak akan seperti bunga-bunga yang lain.” ucapnya sambil memberikan seikat anggrek putih. aku tersenyum malu. ia lelaki yang selalu romantis.
aku memejamkan mata. cepat-cepat mengusir masa lalu itu.
****
warna oranye merekah di langit-langit senja, bak lukisan abstrak yang terukir indah. daun-daun berderaian terkoyak angin. membuat pekarangan rumah semakin ramai oleh daun yang menguning dan kecoklatan.
aku membawa anak-anakku masuk kedalam rumah. ia pasti akan datang kembali, maka aku harus meninggalkan nursery senja ini. membiarkan Mbak Nuri menjaganya sendirian. langit semakin larut bercampur dengan senja, bulan sabit dan gemintang sudah menunjukan dirinya seidikit demi sedikit. jantungku berdegup kencang. khawatir lelaki itu akan datang kembali.
“ibu sedang menunggu ayah pulang? ini masih sore, apa ayah akan pulang lebih cepat?” tanya putri Sulung ku sambil ikut membuka tirai jendela. aku tersenyum kepadanya dan menutup tirai itu kembali. “tidak, ibu hanya sekedar melihat-lihat pekarangan rumah. itu saja.”
****
malam-malam panjang itu kini terulang. bahkan mungkin semakin sesak. sudah 3 hari lelaki itu tidak datang. namun kenangan-kenangan itu yang kini selalu datang. meretakan diriku yang tidak tau lagi apa itu sebenarnya kenangan. ia memang sudah terlalui namun mengapa masih terus bisa mengikuti.
“Rose, apa kau ingin kita menikah?” tanya lelaki itu ketika kami berjalan-jalan menyusuri pantai pada waktu petang hari.
“tentu saja. setelah aku selesai menyelesaikan kuliah kau pasti akan melamarku bukan?” jawabku tersenyum senang.
ia ikut tersenyum dan meraih tanganku. “siapa nama anak-anak kita nanti?”
“hemm. kalau ia perempuan aku akan memberi nama mereka dengan nama-nama bunga.” jawabku senang. ia tertawa dan mencium keningku. “kalau anaknya laki-laki? apa kau akan menamainya dengan nama daun?”. kamipun tertawa. lalu ia mendekap ku erat.
mataku terbuka dengan cepat. keringat keluar dari kening dan leherku. serta napas yang tersenggal. mimpi buruk tadi membangunkan ku, pukul 01.13 malam. tetapi itu bukan mimpi, itu adalah kenangan yang bertamu. sangat tidak menyenangkan di kunjungi pada malam hari ketika kau tidur disebelah suamimu sendiri.
            megapa kau pergi saat itu, Dam?
****
putri-putriku berlarian di pekarangan rumah yang cukup luas. sambil membawa boneka-boneka kesayangan mereka. tertawa dan saling menertawakan. lesung pipit pipi suamiku terukir indah diwajahnya. menikmati secangkir teh dan bercengkrama bersama keluarga pada saat senja adalah rutinitas keluargaku disetiap akhir pekan. hangat. dan cinta selalu datang, menumpuk dikelopak mata kami.
 “permisi.” ucap seorang kurir yang datang. suamiku menghampirinya. aku hanya melihat mereka bercakap-cakap sebentar, lalu suamiku menandatangani kertas tanda terima. kurir itu memberikan sesuatu yang besar kepada suamiku, lalu pergi.
“itu apa yah?” tanya si Sulung kepada Ayah nya. suamiku membuka bungkusan besar itu. kelihatanya sebuah frame yang besar.
“waaaah indah sekali!” seru si Sulung sambil mencengram tangan suamiku. “Ibu coba lihat!”
aku menghampiri suami dan anak-anakku yang sedang mengerubuni sesuatu. sebuah lukisan. lukisan bunga anggrek yang menggantung disebuah pohon. anggrek yang menutupi sinar kemerahan dari langit. anggrek dan senja.
mataku berseri-seri menatapnya. sangat indah. seperti melihat sebuah taman di dalam mimpi.
“tidak ada nama pengirimnya, aneh sekali. tetapi ini sangat indah.” ucap suamiku. aku melihat lukisan itu lamat-lamat. ada sesuatu di pojok kanan bawah. sebuah tanda tangan yang terukir kecil. samar. namun aku mengenalinya. sebuah goresan tangan yang sangat aku kenali. lelaki itu.
“apa kau tau ini dari siapa, sayang? pasti lukisan ini sengaja dikirim untuk dirimu.” Tanya suamiku. dari nada bicaranya, ia sama sekali tidak menunjukan curiga. hanya sebuah pertanyaan.
“aku, aku tidak tau sayang.”
****
aku menatap dalam lukisan itu. sangat indah. malam-malamku kembali panjang dan rasa kantuk mengalahkan perasaan ini. aku bangun dari tempat tidurku secara diam-diam, takut membangunkan suamiku. kemudian entah mengapa otak kecilku menyuruh kaki-kakiku menuju dinding ruang tamu. menemui sepotong kenangan yang mungkin akan kembali utuh dalam perasaanku.
aku memejamkan mata. tidak seharusnya aku menatap lukisan itu, seharusnya aku membuangnya atau menyimpanya di gudang. kenangan-kenangan itu tidak boleh dibiarkan kembali mekar. namun justru ia semakin mekar ketika aku mengatakan jangan mekar.
“Dam, mengapa kau tidak jadi datang? aku sudah memberi tau kepada orang tuaku bahwa kau akan datang malam ini.” tanyaku kesal pada lelaki itu lewat telepon.
“maafkan aku Rose, tetapi sungguh aku ingin. aku hanya tidak bisa meninggalkan pekerjaan disini. maafkan aku.”
percakapan 12 tahun lalu terasa sangat nyata di telingaku. seakan waktu menarikku kembali. perasaan sesak saat Dam tidak jadi datang untuk sebuah acara lamaran sangat meretakkan diriku. namun ternyata itu bukanlah luka terbesarnya. sejak saat itu Dam tidak pernah kembali. ia bagai terbang dibawa angin. kemudian malam-malam menyesakan mulai menemani tidurku. Dam tidak pernah kembali.
aku selalu mencoba menghubungi Dam. mencarinya lewat semua kerabat-kerabat Dam, keluarga Dam, hingga aku mencoba pergi ke kota dimana Dam bekerja. namun ternyata Dam sudah pindah dan aku tidak pernah tau ia dimana.
aku menangisi Dam disetiap malam-malamku. memeluk bantal dengan mata yang lebam dan napas yang kian tersenggal. kedua orang tuaku ikut frustasi melihat diriku yang selalu menangis dan murung. mereka kini benar-benar membinci lelaki itu, namun aku tidak. dibalik mata lebam ini aku masih menyimpan sejuta harap. membuat semua kemungkinan indah yang sebenarnya hanya memiliki 3% saja untuk terwujud.
****
aku menutup pintu kamar dan mulai berbaring disebelah suamiku yang masih sibuk dengan laptop kerjanya. ia menoleh dan tersenyum manis. “bunga-bunga kita sudah tertidur?”. Aku mengangguk. ia tersenyum kembali. senyuman yang dulu sangat aku tidak ingin kan selain senyuman dari lelaki itu. malam ini semua kenangan harus ku hentikan, aku harus bisa tidur dan mendekap didada suamiku.
“sayang, Mbak Nuri bilang akhir-akhir ini kau hanya sebentar di nursery. ada apa?” tanya suamiku sambil memelukku sebelum belum tidur.
“tidak apa-apa, aku hanya sedang ingin mengajak anak-anak bermain di dalam rumah.”
“benarkah? bukankah biasanya kalian selalu bermain di dalam nursery?”
“aku hanya khawatir anak-anak jenuh selalu menghabiskan waktu disana. jadi aku mengajak mereka bermain didalam rumah, untuk sementara waktu.”
suamiku mencium keningku dengan lembut. “baiklah sayang.”

****
sudah sebulan lelaki itu tidak pernah datang lagi. namun tidak bagi baying-bayangnya. ia semakin sering hadir di malam-malamku. lukisan anggrek yang menutupi senja pun ikut campur tangan untuk melengkapi masa lalu itu. semua terasa begitu dekat meski sudah sangat jauh tertinggal.
“bu, ada surat.” ucap Mbak Nuri sambil memberikan amplop berwarna biru muda. “tadi ada seorang lelaki datang, tetapi ibu sedang keluar bersama anak-anak, jadi dia hanya menitipkan ini.”
aku menerima surat itu. ada perasaan sesak yang tiba-tiba datang. aliran darahku terasa lebih lambat dan pergelangan tanganku terasa sangat berat membawa surat beramplop itu. aku masuk kedalam kamar. duduk di depan meja rias dan membukanya perlahan-lahan.
untuk bunga ku yang paling indah, Rose.
Rose, aku sangat bahagia melihat kebahagiaan mu dengan suami dan anak-anakmu yang cantik. kalian semua bak sekumpulan bunga di musim semi. keluarga yang sempurna…
Rose, jika kau tidak lagi menginginkan aku datang, jika kau tidak lagi menginginkan pulang bersamaku, maka itu tidak apa. seharusnya aku tau kau tidak akan pernah mau untuk ku ajak pergi. seharusnya aku sadar kau kini memiliki keluarga yang hangat seperti langit yang kemerah-merahan.
tetapi, bolehkah aku menjawab pertanyaanmu? pertanyaan yang 12 tahun lalu kau sering gantungkan di langit-langit kamarmu. pertanyaan yang maaf, baru aku bisa jawab dan jelaskan saat ini. namun sayang, kau tidak mau mendengarkan nya langsung. namun tak apa, sebelum aku pergi lagi, aku harus menjelaskanya kepadamu.
Rose, sebenarnya malam itu aku benar-benar ingin datang, dan seharusnya aku memang datang. namun maafkan aku Rose, aku tidak bisa. karena pada malam itu aku di pecat dari pekerjaanku. mungkin kau akan tersenyum kecut ketika mengetahui hal ini. mungkin kau akan mengganggapnya sebagai hal sepele. tetapi Rose, sungguh ini bukan hal yang sepele. pada saat itu aku dipecat dengan sangat tidak terhormat. tidak diberikan gaji atau sekedar uang pesangon. bahkan perusahaan meminta ganti rugi padaku. aku bangkrut Rose. dan aku tidak ingin keluargamu beranggapan bahwa aku akan menyusahkan kehidupanmu kelak. aku malu sebagai lelaki yang bangkrut. aku pengecut dan aku tidak bisa melamarmu dengan keadaan seperti itu...
maafkan aku Rose.
aku memberi tau adik dan kedua orang tua ku bahwa aku ditugaskan di luar negri. akupun malu terhadap mereka, akupun sebenarnya tidak ingin orangtua ku di benci oleh orangtua mu yang kaya raya. oleh karena itu aku terpaksa berbohong. hingga saat itu akhirnya aku harus benar-benar melupakan mimpi-mimpi besamamu…
aku harus pergi membangun diri. dan pada saat itupun aku berjanji akan menemui mu kembali setelah aku layak.
Rose, sungguh aku masih teramat mencintaimu… selama aku pergi, aku selalu bekerja keras demi dirimu. siang dan malam. hingga akhirnya aku diterima disebuah perusahaan besar di kota lain. tiga tahun lamanya aku membangun diriku agar berada di garis yang cukup. dan setelah itu, aku kembali pulang. namun Rose, apa yang aku tau? kau sudah menikah dengan lelaki lain…
Rose, aku sangat hancur. aku merasa semua yang aku lakukan adalah kesia-sian. aku sangat menyesal pergi meninggalkanmu tanpa pesan sedikitpun. aku sungguh-sungguh menyesal Rose. rasa gengsiku karena tidak memiliki banyak materi telah membuat perasaanmu hancur, juga telah membuat diriku sendiri hancur.
setelah itu aku terus mencari mu Rose, aku sering membuka semua kenangan-kenangan indah bersamamu. namun ternyata itu hanya membuat diriku semakin nelangsa. akhirnya aku mencari jalan lain untuk memendam semua kesedihan dan penyesalan ini. aku menikahi seorang gadis anak pengusaha yang kaya raya. bos ku sangat terkesan oleh kinerjaku, dan ia meminta ku untuk menikah dengan anaknya. aku yang sedang frustasi dan hampir gila akhirnya menerima hal itu. namun sungguh Rose aku tidak pernah mencintainya, hingga saat ini.
tetapi sudahlah, tidak ada gunanya lagi menceritakan semua ini kepada mu. ini hanya akan membuat dirimu semakin sakit.
Rose, aku masih teramat mencintaimu. aku masih selalu berharap meskipun aku tau harapan itu hanyalah sebuah mimpi penghibur disaat aku benar-benar merindukanmu. aku sadar kau sudah menjadi bunga milik orang lain.
setelah bertahun-tahun lamanya mengumpulkan perasaan untuk menemuimu, akhirnya aku melihat kau yang masih sama seperti dulu. aku sangat senang Rose. aku merasakan bahwa aku hadir di dalam hari-harimu. itu semua terlihat dari Nursery mu. kau masih mencintai bunga anggrek…
anggrek yang dulu kau bilang biasa-biasa saja. namun aku melihat kau saat ini masih mencintai anggrek-anggrek itu. lalu nama anak-anakmu. apakah kau masih mengingat ucapanmu di tepi pantai saat itu Rose? kini kau benar-benar melakukannya. meskipun anak itu bukan anakku juga, namun aku bahagia mengetahui bahwa kau menamai mereka dengan nama bunga. dan cinta yang terakhir ku rasakan adalah dari rambut pendekmu Rose. apa kau masih mengingat wajah bagaiaku ketika pertama kali melihat rambut panjangmu di potong menjadi pendek? pada saat itu aku bilang, “kau sangat cocok dengan rambut pendek itu, kau cantik sekali.” lalu kau berjanji akan tersu berambut pendek untuk ku. apakah saat ini rambut pendekmu juga untuk ku?
Rose, maafkan aku jika kau pernah tergores sangat dalam. maafkan aku jika kau harus melewati malam-malam yang panjang. aku sungguh-sungguh sangat menyesal dan merasa bodoh.
dan apakah kau masih mencintaiku Rose?                      
    aku yang mencintaimu. Dam-

            air mataku terjatuh membasahi kertas berwarna putih itu. menangis sejadi-jadinya. rasanya aku ingin sekali berteriak, mengatakan semua apa yang aku rasakan kepada Dam, tetapi untuk apa? sudah terlambat Dam. dan semua kenangan-kenangan manis itu kini sudah menjadi utuh didalam benakku. cerita masa lalu tentang aku yang terlalu mencintai Dam, aku yang selalu merindukan Dam, aku yang selalu menunggu kepulangan Dam, hingga aku yang rela menikah dengan orang yang tidak aku cintai karena ia bukan Dam.
Dam, kau benar-benar keterlaluan.
****
“mengapa kau ingin menutup Nursery?” tanya suamiku tidak percaya. ia menatapku bingung.
           “aku bosan dengan bunga anggrek, aku ingin bunga-bunga yang lainya saja. dan tolong, lukisan itu kita copot saja.” jawabku sambil menunjuk lukisan anggrek dan senja. aku tidak bisa menghilangkan semua kenangan-kenangan manis itu. bunga-bunga anggrek, lukisan anggrek, bahkan jika aku bisa mengganti nama-nama anakku pun pasti aku akan melakukannya.
            “tetapi mengapa, sayang? apa ada sesuatu yang terjadi?” tanya suamiku ramah. aku menggelengkan kepala. “tidak ada, sayang…”
          suamiku mengerutkan dahinya. “lalu kita kemanakan bunga-bunga sebanyak ini? kau ini ada-ada saja.”
            setelah lama memikirkan hal ini, akhirnya kami memutuskan untuk menjual seluruh bunga-bunga ini. menggantinya dengan bunga lain. namun semua itu tidak merubah apapun. malam-malam yang sesak masih terus menemaniku. gerak-gerik gelisah, menangis sendirian, serta rindu yang entah harus ku apakan…
            Dam berjalan sambil menggenggam tangaku. ia baru saja datang ketempat kerjaku untuk makan siang bersama. “kau menyukainya Rose? ah, tanpa kau jawab, aku sudah tau jawabanya.” tanya Dam tersenyum senang sambil menatapku.
            “Dam, ini indah sekali…” aku sangat terharu ketika Dam membukakan sebuah kota kecil, sebuah cincin perak untuk ku kenakan pada acara lamaran esok lusa. aku membalas menatapnya dalam-dalam dan menikmati matanya yang indah.
****
semua tidak berjalan dengan baik. aku kian terpuruk mengingat masa lalu. dan Dam tidak pernah datang lagi. luka masa lalu kembali menganga. kenangan indah, kenangan pahit, semuanya menganduk-ngaduk perasaanku. mungkin aku sangat terpukul dengan kenyataan yang Dam katakan, atau mungkin aku merasa bahagia mengetahui Dam masih sangat mencintaiku. aku tidak dapat merasakan mana perasaan yang benar, mana yang salah. tetapi, bukankah cinta tidak pernah mengenal soal apa salah dan apa benar?
perasaan ini membuncah. aku menangis sendirian.
aku mengambil surat yang Dam berikan minggu lalu. membacanya kembali, lalu menangis. entahlah, surat itu selalu ingin membuatku membacanya, kemudian aku menangis lagi dan lagi. seperti orang tak waras.
“Rose? kenapa kau menangis?” tanya suamiku yang tiba-tiba sudah ada didepan pintu kamarku. aku tersentak. buru-buru ku hapus air mata dan tersenyum sebisa mungkin. ia menghampiriku dan meletakan tangan kanan nya dibahu kananku.
“Rose, ada apa?” tanyanya lagi. aku tersenyum kaku. lalu menggeleng.
“apa ini?” ia mengambil surat yang Dam berikan dari tangaku. oh Tuhan! aku lupa dengan kertas itu! tidak seharusnya suamiku melihat surat ini.
aku menggenggam surat itu, menahan suamiku mengambilnya. tetapi sia-sia, aku tidak kuasa menahan perasaan dan membohonginya. “sayang…” ucapku pelan ketika ia membacanya.
          suamiku membaca surat itu hingga selesai. namun ia tidak berkata apa-apa. ia diam, tidak menoleh kepadaku, juga tidak melepaskan pandangannya terhadap surat yang sudah ia lipat. kami berdiam diri cukup lama. sunyi. hanya suara jam dinding yang berkata. air mataku kembali metes. dan kini air suamiku pun menangis, tangan ketiga setelah dua tangisan terdahulu ia curahkan ketika putri-putri kami lahir.
            aku meraih tangan suamiku. menggenggamnya dengan lembut. namun ia tetap dia. air matanya masih bercucuran, membasahi kedua tangan kami.
            “maafkan aku…” suara pelan itu akhirnya keluar dari mulutku. ia melepaskan tanganku.
           “mengapa aku tidak pernah tau soal ini Rose? mengapa kau sangat rapih menyimpanya?” matanya masih basah, tanganya gemetar dan aku merasakan bahwa dadanya sangat sesak. aku tidak menjawab apa-apa, mulutku terbungkam oleh isak tangis.
          “apakah kau merawat semua anggrek karena kau masih cinta padanya? apakah nama-nama anak kita adalah nama-nama anak yang kau impikan dengan nya Rose? apakah kau berambut pendek saat ini memang untuk cintanya? bukan untuk suami mu ini?”
            bahuku bergetar, aku tidak sanggup untuk menjawab pertanyaan suamiku sendiri.
         “Rose, mengapa kau setega ini padaku? pada anak-anak kita?” ia masih berdiri, wajahnya menghadap depan, tatapannya kosong dan ia masih menangis. “kau sungguh keterlaluan Rose.”
aku memandangi punggungnya yang hilang diambang pintu, ia meninggalkanku sendirian tanpa menungu jawaban dariku. bodoh, aku yang bodoh. sungguh aku sangat membuat suamiku sendiri terluka dengan bertubi-tubi.
****
            kini aku dan suamiku seperti orang asing dirumah, hanya berbicara ketika putri-putri kami bertanya. ini semua adalah salahku. aku sendiri yang membuat api dalam rumah ini. aku sendiri yang mengikat rasa bahagia tergantung mati di tengah-tengah kebahagiaan.
            Dam memang tidak pernah kembali, dan tidak pernah ada lagi lukisan atau surat-surat yang datang. Dam kembali menghilang. namun luka dikeluargaku tidak pernah bisa hilang. kini aku sudah selesai dengan masa laluku dan sudah selesai dengan kenangan-kenangan Dam. namun luka yang lebih menyakitkan kini bersarang di dalam jantungku, jantung suamiku, juga jantung putri-putri kami.
         “bisakah kita bicara?” tanyaku pada suamiku yang sedang berbaring dikamar. lagi-lagi aku tidak mendapatkan jawaban. “kumohon, demi anak-anak kita.”
            ia menatapku. “apa yang ingin kau katakan?”
aku menghela napas panjang. tatapan matanya yang teduh membuatku ingin menangis. rasanya ingin sekali aku memeluk hati suamiku yang tertoreh. “maafkan aku, biarkan aku memperbaiki semuanya.”
ia masih terdiam.
“semua ini terjadi begitu cepat. aku menyayangimu dan anak-anak kita. percayalah. jika mungkin aku tidak merasakan perasaan ini ketika menikah denganmu, tetapi sungguh, kelahiran putri pertama kita adalah hal yang benar-benar membuatku bahagia dan bersyukur.”
aku menarik napasku dalam-dalam, mengumpulkan semua perasaan. aku tidak bisa menahan tangis lagi. meskipun aku sudah mengumpulan perasaan untuk menjelaskan semua hal kepada suamiku, namun tetap saja aku selalu tersenggal di pertengahan. aku tidak kuasa meneruskan kata-kataku lagi.
“kau memberiku banyak kebahagiaan Rose, kau memberiku anak-anak yang menyenangkan. aku dapat merasakan kebagiaan yang kau katakan itu. namun separuh hatiku kini sudah kau hancurkan.”
            aku meraih tangan suamiku dan menggenggamnya erat, menangis sejadi-jadinya.
          “Rose, kau mungkin bisa hidup denganku dan bahagia meskipun separuh hatimu masih memikirkan lelaki itu. namun aku tidak bisa Rose, aku tidak akan pernah bisa hidup dengan orang yang separuh hatinya bersama lelaki lain.”
           ia kembali menangis, kami sama-sama menangis. perasaan sayang suamiku kini terhalang oleh sebuah tembok masa lalu. aku seperti menikung suamkiku sendiri.
         “jika memang kau ingin memperbaikinya, aku tidak akan menghalangimu. namun aku sendiri tidaka akan pernah tau kapan luka ini bisa kau tutup sepenuhnya. aku tidak akan pernah tau Rose.”
          hingga malam semakin larut, tidak ada percakapan lagi diantara kami. semua tanya tergantung dilangit-langit kamar. kekuatanku sudah habis terserap pilu, aku tidak bisa lagi menjelaskan atau sekedar berkata maaf kepada suamiku lagi. semua terasa semakin rumit. aku tidak ingin lagi bermain-main dengan masa lalu.

Selasa, 13 Agustus 2013

SENIN Pagi



Jam weaker kecil disebelahku berdering keras, membuatku harus bersusah payah membuka mata. Aku melirik jarum panjang hitamnya, pukul 06.00 WIB. Samar-samar terdengar suara ibu dari dapur sedang bercakap-cakap dengan kakak perempuanku.
“kau sudah bangun, ibu sudah menyiapkan sarapan untukmu.” ucap Ibu sambil menaruh nasi dan tempe goreng di meja makan yang sudah reot. Aku menggangguk dan bergegas mandi. Menggunakan kaos putih dan celana terbaikku. Aku harus rapih di setiap Senin pagi.
“kau akan ke sekolah lagi?” Tanya Kakakku. aku mengganguk sambil mengunyah, tentu aku akan kesana.
“tidak malu? maksudku, apa kau tidak ditegur seseorang disana?” tanyanya lagi
“tentu tidak, aku kan tidak mengganggu siapapun.” jawabku ramah, kemudian aku meneguk segelas air dan langsung bergegas pergi setelah mencium tangan ibu dan kakak ku.
Aku berjalan kaki sambil membawa karung plastik besar yang kosong, berharap tidak terlambat. Setibanya aku di depan SMP Fajar, Nampak sudah banyak murid yang berbaris dilapangan. Pengibar benderapun sudah berdiri dipinggir lapangan, siap mengibarkan bendera.
Aku berdiri diluar gerbang sekolah, tersenyum senang karena tidak terlambat. Meskipun menggunakan sandal jepit dan tidak berseragam, tetapi aku selalu senang datang disetiap Senin pagi, aku senang ikut mengheningkan cipta, ikut hormat kepada bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Bukan Cermin Ajaib



aku menghela nafas panjang setiap kali masuk kedalam kamar, menghempaskan tubuh ke kasur yang empuk dan memandangi langit-langitnya. setelah seharian penuh beraktifitas tentu kasur adalah hal yang paling kurindukan. lima menit, sepuluh menit, bahkan sampai setengah jam aku hanya terdiam diatas kasur, menikmati setiap regangnya otot-otot yang memanja kepada kapuk.
setelah merasa segar, aku lebih menyukai untuk bangun dan duduk diatas kasur. menghadap ke sebuah benda berbentuk persegi berbingkai hitam. tidak besar, namun cukup untuk melihat wajahku sendiri.







aku selalu menyukai duduk di depanya. mengamati wajahku sendiri yang kadang senang, kadang sendu, dan kadang aku tidak merasa apa-apa. bercermin mambuat perasaanmu akan lebih baik. maksudku, dengan melihat keadaan wajahmu sendiri, kau akan merasa ada energy tambahan. seperti magis. tetapi aku tidak pernah mengatakan sebuah matra kok hehe. karena ini bukan cermin ajaib seperti cermin di dongeng putri salju. dan aku tidak penah berkata “wahai cermin ajaib, siapa wanita tercantik di negri ini?”
aku rasa kau harus mencobanya. bercermin mengamati wajahmu sendiri. lamat-lamat namun penuh arti. setiap aku merasa sendu, aku akan melihat betapa jelek dan menyedihkan nya diriku. seringkali aku berkata “kenapa semuanya begitu menyedihkan?”. jika semakin sesak biasanya aku menangis, jika tidak biasanya aku hanya menarik nafas panjang. kedengaranya narsis, namun ini terasa nyaman. kau curhat kepada dirimu sendiri.
setelah lama menangis atau bersedu-sedan, aku akan melihat wajah yang lebam, jelek, dan terkadang membuat ingus. kemudian aku mengusap wajah dengan telapak tangan yang kosong. kembali menatap cermin dan berkata “kau bodoh sudah merasa sesedih itu.” dan inilah energy positif yang secara tiba-tiba datang. untuk apa bersedih jika semuanya telah terjadi? lihat wajahmu yang jelek dan mata merah. dimana wajah cantikmu itu, sayang?
dan kau harus mencoba untuk bercermin juga ketika kau merasa senang. karena aku sering melakukanya juga, dan kalian tau? ini sangat menyenangkan! kita bisa melihat wajah kita yang segar, penuh senyuman dan bersemangat. menikmati rasa senang lewat cermin akan membuat bermimpi yang lebih indah. maksudku, dengan rasa semangat serta bahagia tentunya kau akan berfikir untuk lebih optimis, dan merangkai hari esok yang lebih menyenangkan. duhai, betapa cermin dengan wajahmu itu akan membuatmu lebih bahagia dan berfikir “betapa aku sangat cantik dan beruntung.”
dan ketika aku merasa marah atau benci dengan seuatu hal yang terjadi, benda pemantul ini sering kali menjadi pelarianku. aku dapat melihat wajah marahku sendiri dan lama-lama ini tidak terasa menyenangkan. siapa pula yang nyaman dengan rasa marah? maka saat itu cermin akan memberi tau bahwa wajahku buruk, jelek, memiliki tanduk diatasnya dan tidak manusiawi. kau wanita  yang jelek dengan amarah seperti itu! dan lagi-lagi akan datang energy positif, cermin itu mampu mengembalikan hasrat kebaikan yang dimiliki semua manusia, dan wajah dalam cermin itu berkata, “untuk apa marah? membiarkan masalah akan membuat kita tua lebih cepat.”
dan cermin adalah benda yang selalu jujur. ketika aku merasa bosan lalu bercermin, maka lamat-lamat kau akan melihat wajah orang yang kosong ide-idenya, membuatmu harus bergegas bangun dari rasa bosan lalu mencari kesibukan. bahkan kau bisa menjadikan cermin sebagai teman setiamu untuk bercerita. bercerita kepada cermin? iya, karena cermin dapat menghadirkan dirimu sendiri. kau dapat melihat siapa-dirimu-itu.
aku selalu menyukai bercermin, dan kalian harus mencobanya…