aku bercermin di meja rias kamarku.
ternyata benar, aku sudah semakin tua. sudah tidak pernah lagi aku sempat pergi
ke salon atau sekedar membeli make up mahal untuk wajah dan kulit. ah, tetapi
apa benar semua ini karena aku yang sudah semakin tua? bukankah suamiku sejak
bertemu dulu tidak pernah mempermasalahkan aku bagaimana dan memakai apa. atau
mungkin karena perasaannya yang terluka? namun bukankah aku sudah meminta maaf
beribu kali? mengatakanya siang dan malam, mengukir maaf pada dada waktu yang
terus berdetak menyeret keharmonisan ini.
aku keluar dari kamar. melihat ruang
keluarga yang semakin hilang kehangatanya. putri-putriku pasti sudah tidur, ini
sudah larut malam. namun suamiku belum juga pulang. aku mengintip lewat tirai
jendela. tidak ada tanda-tanda kepulangannya. napasku terasa panas. berdesah
semakin dalam. aku mengambil telepon genggam dan menghubunginya.
“tidurlah, sudah larut malam. aku
tidak tau sampai rumah pukul berapa.” ucapnya memutuskan pembicaraan kami di
telpon.
****
hanya suara benturan sendok diatas
piring yang bercakap-cakap di pagi ini. sedang pemilik tangan-tangan itu tidak
mengatakan apapun, termasuk dua putri kecil yang sedari tadi khusuk dengan
sarapanya. aku melirik kearah suamiku, ia terlihat datar. sama seperti hari
kemarin.
“apa kau akan pulang larut malam
lagi?” tanyaku memecahkan suasana kaku. suami ku tidak menjawab, ia hanya
menghela napas. kedua putriku saling menatap bingung.
“kau ini kenapa? aku merasa sangat
kaku dan kau selalu tidak banyak bicara.” ucapku kesal. ah, akhirnya
kekesalanku terlontar juga.
“kau yang kenapa! mengapa tidak
sekalian kau ambil saja jantungku dan membuangnya jauh-jauh? untuk apa terus
bertanya sementara lelaki itu masih melekat di pikiranmu!” jawabnya sambil
melempar sendok kepiring lalu bergegas pergi. sunyi. putri-putriku hanya saling
menatap kosong, lalu menunduk.
****
mengapa
satu kesalahan selalu dapat menghapuskan seribu kebaikan?
mengapa
satu dusta selalu dapat menghapuskan sejuta cinta?
lalu dimakah maaf? bukankah maaf selalu
bisa menyertai cinta? bukankah puisi-puisi dan nyanyian cinta selalu bisa
membuatmu tersenyum setiap kali tertoreh luka?
aku menutup pintu rumah, menguncinya.
lalu masuk kekamar dan menangis sejadi-jadinya. setelah mengantar kedua putriku
kesekolah dengan wajah “palsu”. aku harus menahan tangis dan terus tersenyum
ramah kepada putri-putriku. dan sekarang, tangis itu bertumpah ruah mengaliri
pipi-pipi dan daguku. kalau saja percakapan yang menyakitkan itu tidak terjadi
di depan anak-anak, kalau saja percakapan yang menyakitkan itu tidak terjadi
diatas meja makan…
****
3 bulan yang lalu
aku mengangkat pot bunga anggrek ungu
dari meja depan ke meja samping. membenahi pot-pot bunga yang selalu cantik
adalah kesenangan tersendiri untuk ku. suamiku yang baik, ia membuatkan sebuah
nursery di depan rumah kami setelah anak pertamaku lahir. ia bilang “kini kau
sudah tidak bekerja di kantor. itu adalah sebuah pengorbanan yang sangat besar
karena kau rela melakukanya demi tugas utamamu, yaitu menjadi ibu dan seorang
istri. aku sangat senang sayang, untuk itu aku membuatkan nursery di depan
rumah. karena kau selalu menyukai bunga-bunga. disini kau dapat menungguku
pulang sambil bercengkrama dengan putri kita.”
sebab itu jugalah aku selalu
mencintai nursery ini, yang tidak lain karena ini merupakan salah satu
perwujudan cinta antara aku dan suamiku. sudah hampir 11 tahun kami menikah,
dan nursery ini sudah berusia 10 tahun. 10 tahun yang penuh cinta, penuh
bunga-bunga yang bernyanyi dan berpuisi.
hingga kemudian aku bertemu seseorang
itu, senja di akhir bulan November.
“bisakah aku membeli beberapa ikat
bunga anggrek? anggrek putih.” Tanya seorang lelaki bertubuh tinggi. Mbak Nuri
(pegawai di nursery ku) menggangguk, ia menunjukan beberapa pot bunga anggrek yang sudah bisa dipetik. lelaki itu menunjuk bunga yang ia pilih, lalu
dengan cepat Mbak Nuri membungkusnya.
“berapa harganya?” Tanya lelaki itu
ramah. Mbak Nuri menyebutkan nominal. sedang aku tidak menyadari kedatngan
lelaki itu. aku masih sibuk menata pot-pot bunga anggrek.
“disini melayani jasa antar bunga kan?”
Tanya nya lagi kepada Mbak Nuri. “jika iya, tolong antarkan bunga ini.”
“kemana? alamatnya mas.” Tanya Mbak
Nuri ramah. lelaki itu tersenyum. lalu menunjukan jari telunjuk tangan kanannya
ke suatu arah. “kesana. ke wanita itu.” ucapnya sambil tersenyum sambil
menunjuk kearahku. Mbak Nuri mengerutkan keningnya, tak lama kemudian ia
menurut saja. membuatku kaget.
“apa ini?” tanyaku aneh sambil
menepuk nepuk kedua tanganku yang kotor.
“dari Mas yang disana Bu.”
aku menoleh. aku melihat sepasang
mata yang dulu sangat aku kenal. sepasang mata yang sering membuat
malam-malamku terasa panjang. sepasang mata yang dulu selalu aku inginkan
menjadi milik ku.
****
burung-burung berterbangan pulang.
langit semakin menunjukan bercak-bercak kemerahan yang indah. hangat. dan teh
yang mengepul di depan kami masih belum tersentuh sedikitpun. ia menatapku
dengan wajah yang bersinar. sedangkan aku hanya tertunduk diam.
kepalaku dipenuhi sejuta tanya.
sedang kenangan-kenangan masa lalu kembali terbuka dan meminta untuk aku
singgahi. perasaan-perasaan itu. rindu-rindu itu. sudah 11 tahun lamanya rasa
itu terkubur mati, sedang sebelumnya aku harus melewati malam-malam yang sesak
dan cucuran air mata yang tidak pernah kering. lalu mengapa hanya dengan satu
jam saja semua kenangan itu datang? ia dengan mudahnya mengukung ku kembali.
“untuk apa kesini.” ucapku datar.
“untuk menemui mu, Rose.”
“darimana kau tau alamatku.”
“aku selalu tau dimana kau berada
Rose, kau lupa? hatiku selalu mengikuti hatimu.”
jawaban lelaki itu menyayat ku.
jawaban yang sama dengan 13 tahun lalu ketika kenangan-kenangan itu masih
terasa indah. aku menghela napas dalam. mencoba mengumpulkan perasaan untuk
berbicara lebih banyak dengan lelaki ini.
“pergilah Dam. kedatangan mu sama
sekali tidak membuatku senang.” lelaki itu terdiam sejenak mendengar
ucapakanku. kemudian kembali terseyum ramah. “Rose, aku selalu merindukanmu.
ikutlah denganku, kita pulang.”
“pulang? tidak ada kepulangan lagi
antara aku denganmu Dam. kita sudah mengakhirinya sejak lama. tidak ada kata
pulang lagi Dam.”
lelaki itu tersenyum. ia menyentuh
pinggiran cangkir dengan bibirnya. mencoba merasakan teh yang mungkin sudah
dingin. “baiklah Rose. jika kau tidak mau pulang hari ini. mungkin kau akan mau
besok, atau lusa.”
****
senja yang sejuk. angin berlarian
dengan indah, menyapu lembut wajahku dan putri-putri ku yang sedang asik menciumi
bunga. si bungsu berlarian kecil sambil tertawa. sedangkan si sulung membantuku merangkai bunga sambil ikut tertawa
melihat adiknya. si bungsu berlaria kedepan nursery, mengitarinya sambil
membawa setngkai bunga.
lalu tak sengaja ia menabrak
seseorang, lelaki itu.
lelaki itu berjongkok dan tersenyum
ramah pada si bungsu. mengacak-acak rambutnya dengan lembut dan berkata, “kau
sangat cantik seperti ibumu.”
putri bungsuku tersenyum
mendengarnya. “aku lebih cantik dari ibu.” ucapnya sambil berlari ke pelukanku.
lelaki itu mengikuti dan kini ia berdiri di depanku.
“Rose, anak-anak mu sungguh lucu.
siapa namanya?” tanyanya sambil memandangi kedua putriku. aku tidak menjawab
apapun. tidak seharusnya anak-anak bertemu dengan lelaki itu.
“aku Mawar, om. dan adik ku bernama
Edelwis.” jawab putri sulung ku. lelaki itu tersenyum ramah mendengarnya.
aku meminta Mbak Nuri membawa
anak-anak masuk kedalam rumah, “sudah sore” ucapku padanya.
“Rose, kau terlihat sangat bahagia.”
ucapnya saat kami sudah duduk di bangku kayu yang terletak di depan nursery.
“kau pasti akan lebih bahagia jika ikut denganku.”
“tidak Dam, aku sudah mengatakanya
kemarin.”
“kau masih mencintaiku.”
“tidak, sudah tidak ada lagi.
semuanya habis. kini aku mempunyai cinta yang baru. yang selalu baru dari
suamiku.”
lelaki itu menatap kosong ke langit.
namun bibirnya masih tersenyum.
“aku kembali untuk mu Rose. aku ingin
kau bersamaku lagi. lupakanlah semua kenangan pahit kita Rose. aku berjanji
tidak akan ada luka lagi.”
daun-daun kering berterbangan
merangkul debu. matahari semakin turun dan langit dengan bercak merah semakin
terlihat luas. aku tidak kuasa menatap wajah lelaki itu, juga tidak bisa untuk
kenangan-kenangan itu.
“aku tau kau masih mencintai ku
Rose.” ucapnya kembali. “kau mencintaiku lewat bunga-bunga anggrek mu.”
****
aku tidak bisa tidur. malam ini
terasa panjang dan mulai sesak. aku melirik suamiku yang sudah tertidur lelap.
guratan wajahnya sedikit terlihat, teduh dan menyenangkan. apa yang sedang
aku fikirkan? kau akan sangat jahat sekali bila teringat lelaki itu lagi.
buru-buru kubuang jauh bayangan lelaki yang menemuiku sore tadi.
“kau mencintaiku lewat bunga-bunga
anggrek mu.”
ucapannya masih terngiang.
bunga-bunga anggrek. aku sangat kacau memikirkan hal itu. hal yang seharusnya
sudah aku fikirkan sejak dulu ketika suamiku akan membuat sebuah nursery.
bunga-bunga anggrek. bunga yang selalu memberi kenangan manis padaku, dahulu
dan sekarang. anggrek yang bermekaran, berwarna-warni, menghidupi cintaku
padanya.
“apa kau suka bunga?”
“haha. mengapa kau bertanya seperti
itu? setiap wanita tentunya menyukai bunga.”
“apa kau menyukai anggrek?”
“anggrek? hemm itu bunga yang indah.
tetapi aku biasa saja. untukku bunga itu sama seperti bunga-bunga lain.”
“kalau begitu, mulai saat ini bunga
anggrek tidak akan seperti bunga-bunga yang lain.” ucapnya sambil memberikan
seikat anggrek putih. aku tersenyum malu. ia lelaki yang selalu romantis.
aku memejamkan mata. cepat-cepat
mengusir masa lalu itu.
****
warna oranye merekah di langit-langit
senja, bak lukisan abstrak yang terukir indah. daun-daun berderaian terkoyak
angin. membuat pekarangan rumah semakin ramai oleh daun yang menguning dan
kecoklatan.
aku membawa anak-anakku masuk kedalam
rumah. ia pasti akan datang kembali, maka aku harus meninggalkan nursery senja
ini. membiarkan Mbak Nuri menjaganya sendirian. langit semakin larut bercampur
dengan senja, bulan sabit dan gemintang sudah menunjukan dirinya seidikit demi
sedikit. jantungku berdegup kencang. khawatir lelaki itu akan datang kembali.
“ibu sedang menunggu ayah pulang? ini
masih sore, apa ayah akan pulang lebih cepat?” tanya putri Sulung ku sambil
ikut membuka tirai jendela. aku tersenyum kepadanya dan menutup tirai itu
kembali. “tidak, ibu hanya sekedar melihat-lihat pekarangan rumah. itu saja.”
****
malam-malam panjang itu kini terulang.
bahkan mungkin semakin sesak. sudah 3 hari lelaki itu tidak datang. namun
kenangan-kenangan itu yang kini selalu datang. meretakan diriku yang tidak tau
lagi apa itu sebenarnya kenangan. ia memang sudah terlalui namun mengapa masih
terus bisa mengikuti.
“Rose, apa kau ingin kita menikah?”
tanya lelaki itu ketika kami berjalan-jalan menyusuri pantai pada waktu petang
hari.
“tentu saja. setelah aku selesai
menyelesaikan kuliah kau pasti akan melamarku bukan?” jawabku tersenyum senang.
ia ikut tersenyum dan meraih
tanganku. “siapa nama anak-anak kita nanti?”
“hemm. kalau ia perempuan aku akan
memberi nama mereka dengan nama-nama bunga.” jawabku senang. ia tertawa dan
mencium keningku. “kalau anaknya laki-laki? apa kau akan menamainya dengan nama
daun?”. kamipun tertawa. lalu ia mendekap ku erat.
mataku terbuka dengan cepat. keringat
keluar dari kening dan leherku. serta napas yang tersenggal. mimpi buruk tadi
membangunkan ku, pukul 01.13 malam. tetapi itu bukan mimpi, itu adalah kenangan
yang bertamu. sangat tidak menyenangkan di kunjungi pada malam hari ketika kau
tidur disebelah suamimu sendiri.
megapa
kau pergi saat itu, Dam?
****
putri-putriku berlarian di pekarangan
rumah yang cukup luas. sambil membawa boneka-boneka kesayangan mereka. tertawa
dan saling menertawakan. lesung pipit pipi suamiku terukir indah diwajahnya.
menikmati secangkir teh dan bercengkrama bersama keluarga pada saat senja
adalah rutinitas keluargaku disetiap akhir pekan. hangat. dan cinta selalu
datang, menumpuk dikelopak mata kami.
“permisi.” ucap seorang kurir yang datang.
suamiku menghampirinya. aku hanya melihat mereka bercakap-cakap sebentar, lalu
suamiku menandatangani kertas tanda terima. kurir itu memberikan sesuatu yang
besar kepada suamiku, lalu pergi.
“itu apa yah?” tanya si Sulung kepada
Ayah nya. suamiku membuka bungkusan besar itu. kelihatanya sebuah frame yang
besar.
“waaaah indah sekali!” seru si Sulung
sambil mencengram tangan suamiku. “Ibu coba lihat!”
aku menghampiri suami dan anak-anakku
yang sedang mengerubuni sesuatu. sebuah lukisan. lukisan bunga anggrek yang
menggantung disebuah pohon. anggrek yang menutupi sinar kemerahan dari langit.
anggrek dan senja.
mataku berseri-seri menatapnya.
sangat indah. seperti melihat sebuah taman di dalam mimpi.
“tidak ada nama pengirimnya, aneh
sekali. tetapi ini sangat indah.” ucap suamiku. aku melihat lukisan itu
lamat-lamat. ada sesuatu di pojok kanan bawah. sebuah tanda tangan yang terukir
kecil. samar. namun aku mengenalinya. sebuah goresan tangan yang sangat aku
kenali. lelaki itu.
“apa kau tau ini dari siapa, sayang?
pasti lukisan ini sengaja dikirim untuk dirimu.” Tanya suamiku. dari nada
bicaranya, ia sama sekali tidak menunjukan curiga. hanya sebuah pertanyaan.
“aku, aku tidak tau sayang.”
****
aku menatap dalam lukisan itu. sangat
indah. malam-malamku kembali panjang dan rasa kantuk mengalahkan perasaan ini.
aku bangun dari tempat tidurku secara diam-diam, takut membangunkan suamiku.
kemudian entah mengapa otak kecilku menyuruh kaki-kakiku menuju dinding ruang
tamu. menemui sepotong kenangan yang mungkin akan kembali utuh dalam
perasaanku.
aku memejamkan mata. tidak seharusnya
aku menatap lukisan itu, seharusnya aku membuangnya atau menyimpanya di gudang.
kenangan-kenangan itu tidak boleh dibiarkan kembali mekar. namun justru ia
semakin mekar ketika aku mengatakan jangan mekar.
“Dam, mengapa kau tidak jadi datang?
aku sudah memberi tau kepada orang tuaku bahwa kau akan datang malam ini.”
tanyaku kesal pada lelaki itu lewat telepon.
“maafkan aku Rose, tetapi sungguh aku
ingin. aku hanya tidak bisa meninggalkan pekerjaan disini. maafkan aku.”
percakapan 12 tahun lalu terasa
sangat nyata di telingaku. seakan waktu menarikku kembali. perasaan sesak saat
Dam tidak jadi datang untuk sebuah acara lamaran sangat meretakkan diriku.
namun ternyata itu bukanlah luka terbesarnya. sejak saat itu Dam tidak pernah
kembali. ia bagai terbang dibawa angin. kemudian malam-malam menyesakan mulai
menemani tidurku. Dam tidak pernah kembali.
aku selalu mencoba menghubungi Dam.
mencarinya lewat semua kerabat-kerabat Dam, keluarga Dam, hingga aku mencoba
pergi ke kota dimana Dam bekerja. namun ternyata Dam sudah pindah dan aku tidak
pernah tau ia dimana.
aku menangisi Dam disetiap malam-malamku.
memeluk bantal dengan mata yang lebam dan napas yang kian tersenggal. kedua
orang tuaku ikut frustasi melihat diriku yang selalu menangis dan murung.
mereka kini benar-benar membinci lelaki itu, namun aku tidak. dibalik mata
lebam ini aku masih menyimpan sejuta harap. membuat semua kemungkinan indah yang
sebenarnya hanya memiliki 3% saja untuk terwujud.
****
aku menutup pintu kamar dan mulai
berbaring disebelah suamiku yang masih sibuk dengan laptop kerjanya. ia menoleh
dan tersenyum manis. “bunga-bunga kita sudah tertidur?”. Aku mengangguk. ia
tersenyum kembali. senyuman yang dulu sangat aku tidak ingin kan selain
senyuman dari lelaki itu. malam ini semua kenangan harus ku hentikan, aku harus
bisa tidur dan mendekap didada suamiku.
“sayang, Mbak Nuri bilang akhir-akhir
ini kau hanya sebentar di nursery. ada apa?” tanya suamiku sambil memelukku sebelum
belum tidur.
“tidak apa-apa, aku hanya sedang
ingin mengajak anak-anak bermain di dalam rumah.”
“benarkah? bukankah biasanya kalian
selalu bermain di dalam nursery?”
“aku hanya khawatir anak-anak jenuh
selalu menghabiskan waktu disana. jadi aku mengajak mereka bermain didalam
rumah, untuk sementara waktu.”
suamiku mencium keningku dengan
lembut. “baiklah sayang.”
****
sudah sebulan lelaki itu tidak pernah
datang lagi. namun tidak bagi baying-bayangnya. ia semakin sering hadir di
malam-malamku. lukisan anggrek yang menutupi senja pun ikut campur tangan untuk
melengkapi masa lalu itu. semua terasa begitu dekat meski sudah sangat jauh
tertinggal.
“bu, ada surat.” ucap Mbak Nuri
sambil memberikan amplop berwarna biru muda. “tadi ada seorang lelaki datang,
tetapi ibu sedang keluar bersama anak-anak, jadi dia hanya menitipkan ini.”
aku menerima surat itu. ada perasaan
sesak yang tiba-tiba datang. aliran darahku terasa lebih lambat dan pergelangan
tanganku terasa sangat berat membawa surat beramplop itu. aku masuk kedalam
kamar. duduk di depan meja rias dan membukanya perlahan-lahan.
untuk
bunga ku yang paling indah, Rose.
Rose,
aku sangat bahagia melihat kebahagiaan mu dengan suami dan anak-anakmu yang
cantik. kalian semua bak sekumpulan bunga di musim semi. keluarga yang
sempurna…
Rose,
jika kau tidak lagi menginginkan aku datang, jika kau tidak lagi menginginkan
pulang bersamaku, maka itu tidak apa. seharusnya aku tau kau tidak akan pernah
mau untuk ku ajak pergi. seharusnya aku sadar kau kini memiliki keluarga yang
hangat seperti langit yang kemerah-merahan.
tetapi,
bolehkah aku menjawab pertanyaanmu? pertanyaan yang 12 tahun lalu kau sering
gantungkan di langit-langit kamarmu. pertanyaan yang maaf, baru aku bisa jawab
dan jelaskan saat ini. namun sayang, kau tidak mau mendengarkan nya langsung.
namun tak apa, sebelum aku pergi lagi, aku harus menjelaskanya kepadamu.
Rose,
sebenarnya malam itu aku benar-benar ingin datang, dan seharusnya aku memang
datang. namun maafkan aku Rose, aku tidak bisa. karena pada malam itu aku di
pecat dari pekerjaanku. mungkin kau akan tersenyum kecut ketika mengetahui hal
ini. mungkin kau akan mengganggapnya sebagai hal sepele. tetapi Rose, sungguh
ini bukan hal yang sepele. pada saat itu aku dipecat dengan sangat tidak
terhormat. tidak diberikan gaji atau sekedar uang pesangon. bahkan perusahaan
meminta ganti rugi padaku. aku bangkrut Rose. dan aku tidak ingin keluargamu
beranggapan bahwa aku akan menyusahkan kehidupanmu kelak. aku malu sebagai
lelaki yang bangkrut. aku pengecut dan aku tidak bisa melamarmu dengan keadaan
seperti itu...
maafkan
aku Rose.
aku
memberi tau adik dan kedua orang tua ku bahwa aku ditugaskan di luar negri.
akupun malu terhadap mereka, akupun sebenarnya tidak ingin orangtua ku di benci
oleh orangtua mu yang kaya raya. oleh karena itu aku terpaksa berbohong. hingga
saat itu akhirnya aku harus benar-benar melupakan mimpi-mimpi besamamu…
aku harus
pergi membangun diri. dan pada saat itupun aku berjanji akan menemui mu kembali
setelah aku layak.
Rose,
sungguh aku masih teramat mencintaimu… selama aku pergi, aku selalu bekerja
keras demi dirimu. siang dan malam. hingga akhirnya aku diterima disebuah
perusahaan besar di kota lain. tiga tahun lamanya aku membangun diriku agar
berada di garis yang cukup. dan setelah itu, aku kembali pulang. namun Rose,
apa yang aku tau? kau sudah menikah dengan lelaki lain…
Rose,
aku sangat hancur. aku merasa semua yang aku lakukan adalah kesia-sian. aku
sangat menyesal pergi meninggalkanmu tanpa pesan sedikitpun. aku
sungguh-sungguh menyesal Rose. rasa gengsiku karena tidak memiliki banyak
materi telah membuat perasaanmu hancur, juga telah membuat diriku sendiri
hancur.
setelah
itu aku terus mencari mu Rose, aku sering membuka semua kenangan-kenangan indah
bersamamu. namun ternyata itu hanya membuat diriku semakin nelangsa. akhirnya
aku mencari jalan lain untuk memendam semua kesedihan dan penyesalan ini. aku
menikahi seorang gadis anak pengusaha yang kaya raya. bos ku sangat terkesan
oleh kinerjaku, dan ia meminta ku untuk menikah dengan anaknya. aku yang sedang
frustasi dan hampir gila akhirnya menerima hal itu. namun sungguh Rose aku
tidak pernah mencintainya, hingga saat ini.
tetapi
sudahlah, tidak ada gunanya lagi menceritakan semua ini kepada mu. ini hanya
akan membuat dirimu semakin sakit.
Rose,
aku masih teramat mencintaimu. aku masih selalu berharap meskipun aku tau
harapan itu hanyalah sebuah mimpi penghibur disaat aku benar-benar
merindukanmu. aku sadar kau sudah menjadi bunga milik orang lain.
setelah
bertahun-tahun lamanya mengumpulkan perasaan untuk menemuimu, akhirnya aku
melihat kau yang masih sama seperti dulu. aku sangat senang Rose. aku merasakan
bahwa aku hadir di dalam hari-harimu. itu semua terlihat dari Nursery mu. kau
masih mencintai bunga anggrek…
anggrek
yang dulu kau bilang biasa-biasa saja. namun aku melihat kau saat ini masih
mencintai anggrek-anggrek itu. lalu nama anak-anakmu. apakah kau masih
mengingat ucapanmu di tepi pantai saat itu Rose? kini kau benar-benar melakukannya.
meskipun anak itu bukan anakku juga, namun aku bahagia mengetahui bahwa kau
menamai mereka dengan nama bunga. dan cinta yang terakhir ku rasakan adalah
dari rambut pendekmu Rose. apa kau masih mengingat wajah bagaiaku ketika
pertama kali melihat rambut panjangmu di potong menjadi pendek? pada saat itu
aku bilang, “kau sangat cocok dengan rambut pendek itu, kau cantik sekali.”
lalu kau berjanji akan tersu berambut pendek untuk ku. apakah saat ini rambut
pendekmu juga untuk ku?
Rose,
maafkan aku jika kau pernah tergores sangat dalam. maafkan aku jika kau harus
melewati malam-malam yang panjang. aku sungguh-sungguh sangat menyesal dan
merasa bodoh.
dan apakah
kau masih mencintaiku Rose?
aku yang mencintaimu. Dam-
air
mataku terjatuh membasahi kertas berwarna putih itu. menangis sejadi-jadinya. rasanya
aku ingin sekali berteriak, mengatakan semua apa yang aku rasakan kepada Dam,
tetapi untuk apa? sudah terlambat Dam. dan semua kenangan-kenangan manis itu kini
sudah menjadi utuh didalam benakku. cerita masa lalu tentang aku yang terlalu
mencintai Dam, aku yang selalu merindukan Dam, aku yang selalu menunggu
kepulangan Dam, hingga aku yang rela menikah dengan orang yang tidak aku cintai
karena ia bukan Dam.
Dam, kau benar-benar keterlaluan.
****
“mengapa kau ingin menutup Nursery?”
tanya suamiku tidak percaya. ia menatapku bingung.
“aku
bosan dengan bunga anggrek, aku ingin bunga-bunga yang lainya saja. dan tolong,
lukisan itu kita copot saja.” jawabku sambil menunjuk lukisan anggrek dan senja.
aku tidak bisa menghilangkan semua kenangan-kenangan manis itu. bunga-bunga
anggrek, lukisan anggrek, bahkan jika aku bisa mengganti nama-nama anakku pun
pasti aku akan melakukannya.
“tetapi
mengapa, sayang? apa ada sesuatu yang terjadi?” tanya suamiku ramah. aku
menggelengkan kepala. “tidak ada, sayang…”
suamiku
mengerutkan dahinya. “lalu kita kemanakan bunga-bunga sebanyak ini? kau ini
ada-ada saja.”
setelah
lama memikirkan hal ini, akhirnya kami memutuskan untuk menjual seluruh
bunga-bunga ini. menggantinya dengan bunga lain. namun semua itu tidak merubah
apapun. malam-malam yang sesak masih terus menemaniku. gerak-gerik gelisah,
menangis sendirian, serta rindu yang entah harus ku apakan…
Dam
berjalan sambil menggenggam tangaku. ia baru saja datang ketempat kerjaku untuk
makan siang bersama. “kau menyukainya Rose? ah, tanpa kau jawab, aku sudah tau
jawabanya.” tanya Dam tersenyum senang sambil menatapku.
“Dam,
ini indah sekali…” aku sangat terharu ketika Dam membukakan sebuah kota kecil,
sebuah cincin perak untuk ku kenakan pada acara lamaran esok lusa. aku membalas
menatapnya dalam-dalam dan menikmati matanya yang indah.
****
semua tidak berjalan dengan baik. aku
kian terpuruk mengingat masa lalu. dan Dam tidak pernah datang lagi. luka masa
lalu kembali menganga. kenangan indah, kenangan pahit, semuanya
menganduk-ngaduk perasaanku. mungkin aku sangat terpukul dengan kenyataan yang
Dam katakan, atau mungkin aku merasa bahagia mengetahui Dam masih sangat
mencintaiku. aku tidak dapat merasakan mana perasaan yang benar, mana yang
salah. tetapi, bukankah cinta tidak pernah mengenal soal apa salah dan apa
benar?
perasaan ini membuncah. aku menangis
sendirian.
aku mengambil surat yang Dam berikan
minggu lalu. membacanya kembali, lalu menangis. entahlah, surat itu selalu
ingin membuatku membacanya, kemudian aku menangis lagi dan lagi. seperti orang
tak waras.
“Rose? kenapa kau menangis?” tanya
suamiku yang tiba-tiba sudah ada didepan pintu kamarku. aku tersentak.
buru-buru ku hapus air mata dan tersenyum sebisa mungkin. ia menghampiriku dan
meletakan tangan kanan nya dibahu kananku.
“Rose, ada apa?” tanyanya lagi. aku
tersenyum kaku. lalu menggeleng.
“apa ini?” ia mengambil surat yang
Dam berikan dari tangaku. oh Tuhan! aku lupa dengan kertas itu! tidak
seharusnya suamiku melihat surat ini.
aku menggenggam surat itu, menahan
suamiku mengambilnya. tetapi sia-sia, aku tidak kuasa menahan perasaan dan
membohonginya. “sayang…” ucapku pelan ketika ia membacanya.
suamiku
membaca surat itu hingga selesai. namun ia tidak berkata apa-apa. ia diam,
tidak menoleh kepadaku, juga tidak melepaskan pandangannya terhadap surat yang
sudah ia lipat. kami berdiam diri cukup lama. sunyi. hanya suara jam dinding
yang berkata. air mataku kembali metes. dan kini air suamiku pun menangis,
tangan ketiga setelah dua tangisan terdahulu ia curahkan ketika putri-putri
kami lahir.
aku
meraih tangan suamiku. menggenggamnya dengan lembut. namun ia tetap dia. air
matanya masih bercucuran, membasahi kedua tangan kami.
“maafkan
aku…” suara pelan itu akhirnya keluar dari mulutku. ia melepaskan tanganku.
“mengapa
aku tidak pernah tau soal ini Rose? mengapa kau sangat rapih menyimpanya?”
matanya masih basah, tanganya gemetar dan aku merasakan bahwa dadanya sangat
sesak. aku tidak menjawab apa-apa, mulutku terbungkam oleh isak tangis.
“apakah
kau merawat semua anggrek karena kau masih cinta padanya? apakah nama-nama anak
kita adalah nama-nama anak yang kau impikan dengan nya Rose? apakah kau
berambut pendek saat ini memang untuk cintanya? bukan untuk suami mu ini?”
bahuku
bergetar, aku tidak sanggup untuk menjawab pertanyaan suamiku sendiri.
“Rose,
mengapa kau setega ini padaku? pada anak-anak kita?” ia masih berdiri, wajahnya
menghadap depan, tatapannya kosong dan ia masih menangis. “kau sungguh
keterlaluan Rose.”
aku memandangi punggungnya yang
hilang diambang pintu, ia meninggalkanku sendirian tanpa menungu jawaban
dariku. bodoh, aku yang bodoh. sungguh aku sangat membuat suamiku sendiri
terluka dengan bertubi-tubi.
****
kini
aku dan suamiku seperti orang asing dirumah, hanya berbicara ketika putri-putri
kami bertanya. ini semua adalah salahku. aku sendiri yang membuat api dalam
rumah ini. aku sendiri yang mengikat rasa bahagia tergantung mati di
tengah-tengah kebahagiaan.
Dam
memang tidak pernah kembali, dan tidak pernah ada lagi lukisan atau surat-surat
yang datang. Dam kembali menghilang. namun luka dikeluargaku tidak pernah bisa
hilang. kini aku sudah selesai dengan masa laluku dan sudah selesai dengan
kenangan-kenangan Dam. namun luka yang lebih menyakitkan kini bersarang di
dalam jantungku, jantung suamiku, juga jantung putri-putri kami.
“bisakah
kita bicara?” tanyaku pada suamiku yang sedang berbaring dikamar. lagi-lagi aku
tidak mendapatkan jawaban. “kumohon, demi anak-anak kita.”
ia
menatapku. “apa yang ingin kau katakan?”
aku menghela napas panjang. tatapan
matanya yang teduh membuatku ingin menangis. rasanya ingin sekali aku memeluk
hati suamiku yang tertoreh. “maafkan aku, biarkan aku memperbaiki semuanya.”
ia masih terdiam.
“semua ini terjadi begitu cepat. aku
menyayangimu dan anak-anak kita. percayalah. jika mungkin aku tidak merasakan
perasaan ini ketika menikah denganmu, tetapi sungguh, kelahiran putri pertama
kita adalah hal yang benar-benar membuatku bahagia dan bersyukur.”
aku menarik napasku dalam-dalam,
mengumpulkan semua perasaan. aku tidak bisa menahan tangis lagi. meskipun aku
sudah mengumpulan perasaan untuk menjelaskan semua hal kepada suamiku, namun
tetap saja aku selalu tersenggal di pertengahan. aku tidak kuasa meneruskan
kata-kataku lagi.
“kau memberiku banyak kebahagiaan
Rose, kau memberiku anak-anak yang menyenangkan. aku dapat merasakan kebagiaan
yang kau katakan itu. namun separuh hatiku kini sudah kau hancurkan.”
aku
meraih tangan suamiku dan menggenggamnya erat, menangis sejadi-jadinya.
“Rose,
kau mungkin bisa hidup denganku dan bahagia meskipun separuh hatimu masih
memikirkan lelaki itu. namun aku tidak bisa Rose, aku tidak akan pernah bisa
hidup dengan orang yang separuh hatinya bersama lelaki lain.”
ia
kembali menangis, kami sama-sama menangis. perasaan sayang suamiku kini
terhalang oleh sebuah tembok masa lalu. aku seperti menikung suamkiku sendiri.
“jika
memang kau ingin memperbaikinya, aku tidak akan menghalangimu. namun aku
sendiri tidaka akan pernah tau kapan luka ini bisa kau tutup sepenuhnya. aku
tidak akan pernah tau Rose.”
hingga
malam semakin larut, tidak ada percakapan lagi diantara kami. semua tanya
tergantung dilangit-langit kamar. kekuatanku sudah habis terserap pilu, aku
tidak bisa lagi menjelaskan atau sekedar berkata maaf kepada suamiku lagi. semua
terasa semakin rumit. aku tidak ingin lagi bermain-main dengan masa lalu.