Kamis, 26 September 2013

21 september yang sendu.

Jika dilupakan, apakah itu artinya tidak penting? atau jika tidak penting, apakah akan selalu dilupakan?

duhai, aku tidak pernah mengerti sebab ataupun asal muasal perasaan remuk ini.
hingga malam merembet dalam kesedihan, aku hanya bisa menerka-nerka.
bahkan untuk menerka sekalipun, aku merasa berdosa. sebab kau tidak terlihat.
sebab kau tidak bisa terbacakan.

Jika dilupakan, apakah itu artinya tidak penting? atau jika tidak penting, apakah akan selalu dilupakan?


aku sendiri tidak pernah bisa tau lagi, apa itu penting dan tidak penting.
setidaknya semua itu terjadi setelah kau ada.
untukku semua hal yang tertoreh, semua berawalan namamu.
nama yang selalu ku ingat.
entah penting atau tidak, nama itu terus terukir nyata.


 Jika dilupakan, apakah itu artinya tidak penting? atau jika tidak penting, apakah akan selalu dilupakan?


namun ternyata perasaan ini tidak mengenal timbal-balik.
ia mengabaikan sebab akibat ataupun sebuah balasan.
hingga kau yang melupakan dan dengan cepat menyergap hati dengan kekecewaan.
aku tidak pernah bisa benar-benar ingin melupakan.


hingga bulan ini berakhir sendu di 21 september, aku tidak pernah mengerti.
sebab, jika dilupakan, apakah itu artinya tidak penting? atau jika tidak penting, apakah akan selalu dilupakan?





Jumat, 20 September 2013

19 Tahun



Malam terakhir usia 19 tahun.
Selamat datang usia 20 tahun, aku bahagia akhirnya Tuhan masih mempertemukan kita dalam keadaan yang haru dan romantis. Bagiku, usia dua puluh adalah usia awal kedewasaan diri. Aku berjanji, kau akan menjadi wanita yang lebih baik!
Setelah berhasil melewati usia 19 tahun yang penuh cerita, aku sangat berterimakasih kepada keluarga, terutama mama, yang sudah mempercayaiku sebagai “sahabat” nya. Kau tau usia 20? Mama sudah menjadi sahabatku sejak aku berusia 19 tahun. Ia sering bercerita tentang apa saja yang ia suka. dan tentu akupun menyukainya. Kau harus berterimakasih kepada usia 19 karena ia telah berhasil menjadi sahabat bagi mama.
Cerita yang paling kusuka selama satu tahun ini adalah cerita mama saat ia remaja dan dewasa. Baiklah, aku akan menceritakanya sedikit disini. Pada suatu hari, oh tidak tidak, jangan pada suatu hari (ini bukan dongeng), bagaimana jika kita memulainya dengan kata-kata “Pada saat itu”.
Pada saat itu, mama remaja adalah seorang gadis cantik berambut panjang sepinggul, hitam lebat dan lurus. bukan karena jasa shampoo atau creambath di salon, tetapi karena minyak kelapa buatan nenekku yang sering ia gunakan dirambutnya, terkadang ia juga menggunakan minyak kemiri. Mama bukan gadis kota yang hidup berkecukupan, ia hanya seorang anak kepala sekolah (jangan bayangkan kepala sekolah dahulu dengan kepala sekolah saat ini, dahulu nasib guru dan kepala sekolah tidak semenarik sekarang, pada saat itu pak Soeharto tidak memiliki kebijakan serta kepedulian terhadap dunia pendidikan seperti pak SBY saat ini). Mama sering mendulang batu di sungai belakang rumah. sungai yang bersih, lebar, dan ia sangat jago berenang. meskipun sering melakukanya, kulit mama tetap putih, rambutnya tetap hitam lebat, dan tentunya ia tetap cantik sebagai bunga Dahlia di desanya. Kesederhanaan kakek mengajari mama banyak hal, ia sama sederhananya dengan kakek. Mama pernah bercerita, suatu ketika pintu di sekolah yang kakek pimpin rusak, bangku-bangkunya sudah reot dan sesekali mengeluarkan derit kayu rapuh jika digerakkan. Tak segan-segan kakek membawa alat-alat kayu dan membetulkanya sendiri. Hal itu kini menjadi inspirasi bagi mama. Saat ini, mama sedang dalam proses seleksi kepala sekolah. Namanya sering kali masuk dalam Koran Radar Depok atau Koran Monitor Depok sebagai guru perempuan yang membanggakan. Nama mama selalu berada di tingkat satu atau nilai tertinggi dalam setiap tes. Aku sangat yakin, banyak sekali nila-nilai yang ia adopsi dari kakek. Saat ini, ia sudah memiliki nilai tertinggi di kecamatan sebagai guru, dan sebentar lagi akan masuk tahap kota. Aku selalu mendengarkan cerita mama setiap kali ia bercerita soal tes kepala sekolah, yangs sering kali membuatnya bingung, namun selalu bisa ia lewati dengan sangat baik. 
Selepas sekolah dasar di desa Leuwiliang Bogor, mama lanjut ke SMP dan SPG (Sekolah Pendidikan Guru), yang saat ini namanya dikenal dengan sekolah PGRI. Kakek ingin mama menjadi guru dan PNS. Pada saat tahun 80-an, menjadi PNS bukanlah hal yang menarik. Gaji kecil, Tunjangan pas-pasan. Namun itu bukanlah halangan bagi kakek dan mama. Menurut kakek dan Mama, perempuan itu sangat cocok menjadi guru PNS karena guru memiliki banyak waktu untuk keluarga. Sudah tentu maksudnya adalah agar mama menjadi ibu rumah tangga dan wanita karir yang baik. Seorang guru dalam sehari-harinya bisa melakukan : Pagi hari membuat sarapan untuk suami dan anak, setelah itu ia pergi bekerja (mengajar), siang hari sudah pulang dan bisa menyiapkan makan siang untuk anak, lalu mengurus pekerjaan rumah dan merawat anak, malam hari suami dan anak bisa makan malam dengan apa yang ia hidangkan. Ah, sebenarnya aku sedikit menyesal kenapa dahulu aku menolak kuliah di Pendidikan. tetapi tak apalah, jangan terus aku sesali kuliah di hukum, siapa tahu aku bisa menjadi dosen hukum. iya kan? 
Oh iya usia 20, aku ingin mengatakan suatu kalimat yang pernah mama ucapkan padaku ketika ia mulai menjadi sahabatku, kau jangan menangis yaa! mama pernah bilang, “Sekarang beban hidup terasa ringan karena mama bisa cerita sama anak, dahulu, waktu kamu masih kecil, semua yang mama alami harus mama pendam sendiri, berjuang demi anak-anak. pahit manis. tetapi sekarang mama sudah punya anak yang bisa diajak sharing, Alhamdulillah.” 
Aku berharap kamu bisa menjadi jauh lebih baik dan dewasa, terutama untuk mama dan keluarga. Dan hei! Sampai ketemu dipenghujung usia 20 yaa! aku akan membuatkan kisah yang lebih menarik dari kisah 19 tahun ini untukmu. Thanks for this Sweetember

Rabu, 11 September 2013

hal itu, aku tak tau apa namanya.

malam tanpa gemintang tak berpengaruh dengan perasaan, mungkin. atau beberapa diantara kita justru sangat mencintai gemintang. yang bisa kau tulis serta lagukan dikala sendu atau senang. gemintang malam selalu bisa jadi penghias pikiranmu.

dan malam ini, aku tidak tau apakah sedang banyak gemintang atau tidak. kamar sudah mengunciku dengan kenyamanannya. lalu, senyap mulai menyergap. namun ternyata senyap-sunyi tidak selamanya sepi. terkadang satu-dua-kali aku membayangkan wajahmu yang terukir dalam angan. ah Tuan, bagiku mungkin gemintang tak lagi penting setelah kau yang hadir dalam langit-langit mimpi malamku.

tetapi senja itu, ketika gemintang sedang menunggu aba-aba langit untuk menghadirkanya, aku tidak tau kemana kau hilang. kau bilang sebentar, namun aku tidak juga melihat kau pulang. atau mungkin hanya perasaanku saja yang merasa kepergian mu lama? sebab seringkali melepaskan sesuatu yang sudah usang untuk kita miliki adalah hal berat- begitulah ucapan kana yang ku kutip.

lalu apakah ini?
ketika kau beranjak dan melambai, aku tak bisa menyebutnya perpisahan. bukan, tepatnya, aku tak mau menyebutnya demikian. meski telah beberapakali punggungmu menghilangn dalam kejauhan, aku tak tau apa itu perpisahan. jika memang benar perpisahan, kita pasti akan bertemu lagi bukan?

TRUTH OR DARE?



Bus berkecepatan  60 KM/ Jam ini melesat melewati tol Jagorawi, dari arah Jakarta masuk kearah Puncak dan keluar tepat di depan sebuah café besar Starbucks Coffee. Namun café tersebut tidak dapat menarik perhatian dari salah seorangpun didalamnya.Mereka lebih asik dengan “bus” itu sendiri dan semua rencana-rencana menyenangkan yang sedari tadi tidak berhenti mereka bicarakan. Aku melirik jam tanganku, pukul 13.00 WIB, dan sekarang bus itu terhenti akibat jalur one way, tentu saja, ini weekend. “kira-kira kita masih jauh dari vila kita menginap?” tanyaku kepada Nina yang duduk di sebelahku, Nina mengangkat bahu .
 lo udah bilang ke Iqbal soal acara ini?” Tanya Lena yang duduk di depanku dan Nina. Aku mengganguk. Tentu  saja aku sudah meminta ijin dengan nya bahwa aku ikut acara perpisahan kelas 2 SMA di Puncak. Sebenarnya tanpa meminta ijinpun Iqbal tidak akan tahu, toh aku denganya Long Disctance Relationship, aku di Jakarta sedangkan ia berada di Jogjakarta sedang menempuh studi S1 jurusan Hukum.
Setelah berlama-lama di dalam bus akhirnya kami sampai di vila milik Rama yang letaknya tidak jauh dari KFC di Cisarua. “akhirnyaaa sampeeeee jugaaa….” Ucap Falid sambil meregangkan tubuhnya dari rasa pegal-pegal. Teman-temanku langsung  berhamburan keluar bus seperti anak SD. Aku bersama 3 orang teman terdekatku yaitu Shinta, Lena, dan Nina berjalan bersama menuju ruang tamu vila dan menjatuhkan diri di sofa besar berwarna putih tulang yang sangat empuk. “ah ngantuk banget sampe sini.” ucap Shinta sambil menguap lebar.
“Guys, lo semua silahkan istirahat dulu, disini ada 2 kamar besar, yang 1 untuk kita cowok-cowok dan satu lagi buat para wanita cantik. Gue mau ke dapur dulu ngasih tahu pembantu disini untuk nyiapin makanan.” Ucap Rama yang kemudian langsung ke dapur di intilin pacarnya, Tari. “kayak pengantin baru aja tuh anak, nempel terus!” ucap Vidi ceplas ceplos yang membuat kami semua ikutan menyeringai kelakuan 2 teman kami itu. Setelah beristirahat dan makan siang di sore hari, teman-temanku mengganti pakaian nya dan siap berenang di kolam renang berukuran 20 x 6 meter di belakang vila, lumayan besar. Aku tidak mengganti pakaianku, cuaca disini sangat mendung dan siap turun hujan. Tidak hujan saja disini sudah dingin, apalagi jika hujan?
“hey! Ayooo dong nyebur sini, masa gara-gara mau ujan pada gak berani.” Seru Ikhsan heboh dari dalam kolam sambil mencipratkan air kepada ku dan teman-temanku yang tidak ikut berenang. “kalo gue masuk angin lo mau tanggung jawab?” jawab Nina sewot. Dari 3 orang teman terdekatku, yang paling nyentrik adalah Nina. Bukan nyentrik dari penampilanya, tetapi dari keberanianya sebagai cewek SMA. Doi selalu ceplas ceplos dan tidak suka diatur, nilainya selalu bagus dalam pelajaran olahraga dan ia mengikuti eskul basket. Dan kau tau? Nina terlalu cantik untuk ukuran cewek galak dan banyak sekali cowok yang naksir di sekolah. Sedangkan Shinta, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Nina, lumayan galak dan ikut eskul basket, ia memiliki rambut yang panjang hitam berkilau seperti iklan shampoo dan jago dalam olahraga, hanya saja tetap Nina nomor 1 dimata cowok-cowok sekolah. Dan yang terakhir adalah Lena, cewek bertubuh tinggi dengan soft lense hitam dimatanya, tidak terlalu jago olahraga tetapi dia selalu aktif dalam organisasi sekolah, sudah sejak kelas 1 SMA Lena aktif sebagai MPK OSIS dan Panitia Wisuda disekolah. Sedangkan aku, saat ini aku hanya aktif di eksul Mading sekolah, sebelumnya aku pernah ikut PMR namun itu hanya berjalan satu tahun saja.
Byurrr! Tiba-tiba Noval mendorong Shinta dari belakang dan akhirnya ia basah kuyup. “Novaaalll….! Apa-apaan sih? Rese banget!” ucapnya cemberut. Noval hanya cekikikan dari pinggir kolam dengan celana boxernya. Peristiwa cebur-menceburkanpun tidak dapat dihindari. Teman-temanku yang tidak ikut berenang sibuk berlari kesana-sini dikejar teman yang lain kemudian ditangkap lalu, byur! Basah semua.
“stop gak, stop! Falid jangan deket-deket!” ucapku kesal ketika Falid mengejarku untuk segera diseret ke kolam, ia tidak menghiraukan ucapanku dan sambil tertawa menghampiriku. “kesini gak lo! curang semuanya udah basah cuma lo yang belum An, haha.” Dia menarik lengaku dengan kuat meski aku terus menahanya dengan berpegangan ke pohon Palm di dekat kolam. Sialnya Falid jauh lebih nekat dari apa yang ku bayangkan, dia menggendong ku! Lalu akhirnya aku basah kuyup bercampur malu akibat perbuatan konyolnya tersebut.
 *******
Kami semua sibuk mengeringi rambut sambil meminum teh hangat yang sudah disediakan pembantu Rama. Sambil memainkan gitar melody nya Falid berkata “gimana kalo sekarang kita main kartu, gue bosen kalo harus diem di dalam vila sambil nunggu hujan reda.”
Ikhsan mengeluarkan kartu remi dan memberikanya kepada Ben. Teman-temanku membuat lingkaran di kamar cowok lalu Rama meletakan lipstick sumbangan dari Tari di tengan-tengah lingkaran. Aku tidak ikut bermain, dari dulu hingga saat ini aku tidak bisa memainkan kartu remi meskipun Lena sudah berkali-kali mengajarkanya padaku. Hampir satu jam teman-temanku memainkan kartu itu, sampai akhirnya Rama menyudahinya.
 “ah ganti permainan deh, basi banget yang kalah cuma dicoret pake lipstick.” Teman-temanku setuju, lalu ikut menaruh kartu itu dengan sembarangan di depan mereka. Kemudian Merry yang duduk disebelah Falid mempunyai ide bagus, sambil berdehem dan berlagak berada di atas podium kepresidenan, Mery berkata “gue punya ide, gimana kalau kita main Truth or Dare,” ucap Merry ceria. “ gue akan memutar botol ditengah-tengah kita dan orang yang terpilih harus menentukan, Truth or Dare. Pertanyaan yang dilontarkan kepada orang yang terpilih boleh berupa apa saja dan boleh bersifat pribadi. Begitupun juga dengan tantangan nya. Lalu yang terpilih harus jujur dan tidak boleh menolak . Oke?” kami semua memandangi Mery sejenak dan kemudian setuju. Menarik juga, pikir ku.
gue gak ikutan.” Ucap Nina tiba-tiba. “yaaaah gak asik banget lo Nin.” Ujar Falid kecewa, begitu juga Rama, Noval, Ikhsan, Ben, dan semua cowok yang ada di ruangan ini. “suka-suka gue dong, disini gue jadi jurinya aja, kalau ada yang nolak pertanyaan atau tantangan biar gue habisin!” jawab Nina lucu. Kamipun tidak memaksa Nina, sudah hafal dengan tabiatnya yang galak namun sedikit penakut. Tetapi Noval tetap bersunggut tidak setuju, “ah Nin, lo galak doang tapi pengecut.” Ucapnya sewot. Nina melotot kearahnya dengan sebal.
Merry tidak mebuang-buang waktu, dengan cekatan ia menggambil botol beling bekas syrup. Kami semua yang ikut dalam permainan itu berjumlah 15 orang, sedangkan sepuluh orang lainya tidak ikut dan lebih memilih main kartu, dan seorang lagi yaitu Nina tidak ikut kedua permainan tersebut. “berhubung gue yang mempunyai ide permainan ini, maka gue yang harus muter botolnya, oke?” Tanya Merry yang sebenarnya ia sendiri tidak membutuhkan jawaban, toh dia langsung memutar botol itu sebelum siapapun menjawab. Shinta duduk disebelah kanan ku, lalu Lena, Rama, Tari, Noval, Ikhsan, Ben, Naiyla, Alfi, Falid, Janet, Gio, Reni dan Kiki yang akhirnya ada disebelah kiriku.
Merry memutar dengan kencang sehingga botol itu berputar cepat. Tetapi aku merasa botol itu berputar dengan sangat lambat sehingga banyak sekali pertanyaan yang muncul dibenakku. Pertanyaan apa yang akan dilontarkan oleh teman-temanku? Atau separah apa tantangan yang akan mereka berikan? seharusnya aku ikut Nina duduk diluar lingkaran mengawasi permainan ini. Sial. Lena menyenggol lenganku, “santai” bisiknya pelan. Aku tertawa kecil dan mengangguk.
Botol itu berputar lebih lambat sekarang, aku dan teman-temanku terlihat tegang seakan-akan botol itu adalah manusia yang sedang berlari dan kami berteriak-teriak jangan dekati aku. Dengan perlahan tapi pasti, botol itu akhirnya berhenti juga. Kearah Merry. Falid tertawa terbahak-bahak saat botol itu berhenti di depan Merry dan ia mengucapkan kata-kata yang sangat belepotan karena tercampur oleh ludah dari mulutnya yang muncrat akibat tertawa. “hahaha rasain lo Mer! Makanya jangan sok keren, nah akhirnya hahahah nih botol berentikan di depan lo? Hahaha Mer Mer… abis lu hahaha…”
Merry tampak kesal dengan perbuatan Falid yang memuncratkan ludah ke tangannya. “ih tapi gak usah muncrat gitu kali! Jorok banget sih!” ucapnya geram sambil memeperkan tangannya ke karpet. Kamipun tertawa melihat Falid yang sangat menikmati kemalangan nasib Merry, namun sebelum Merry menangis padahal ia belum memilih Truth or Dare, Rama langusng mengambil alih suasana. “udeh… sekarang mending Merry kita kasih pilihan aja biar cepet, lo pilih Truth or Dare nih Mer?”
Merry tampak ragu, aku seperti ikut merasakan hal itu dan kembali berfikir cepat apa yang akan aku lakukan jika nanti botol itu berhenti di depanku. “gue pilih tantangan.” Jawab Merry mantap. “serius lo? Gak takut?” Tanya Tari ragu. Merry menggelengkan kepalanya “gue gak takut kok.” Aku melihat teman-temanku saling bersitatap, tantanganya apa?. Merry mengamati kami satu persatu, “gue mau tantangan itu dari… Lena.” Kami semua langsung sibuk memperngaruhi Lena, apalagi teman-teman cowok ku.
“Len, kasih Merry tantangan suruh dia nyebur di kolam renang sekarang.” Ucap Alfi sambil tertawa. “atau Merry buatin minuman dan siapin cemilan untuk kita sekarang.” Ucap Tari. “atau suruh aja Merry ngebuka bajunya hehehe.” Ucap Noval ngaco. Langsung seluruh bantal mampir ke wajahnya hasil timpukan kami semua. “yeee dasar otak bokep!” komentar Shinta sewot.
Lena memandangi Merry dengan senyum manis yang jahil, “Gue mau kalo Merry daftarin nada sambung di hp nya dengan lagu dangdut dan dia harus nyanyi plus goyang dangdut di depan kita semua.” Merry sangat kaget dan melotot ke arah Lena. “what???” kami semua setuju dengan ide cemerlang Lena mengingat bahwa Merry anti dengan musik dangdut, jangankan untuk bernyanyi dan bergoyang, mendengarnya saja Merry sudah merasa ada alergi dalam darahnya, lebay kan?
“oke Coy, gue puterin nih lagu yang pas banget buat Merry, Hamil Tiga Bulan,” ucap Falid girang sambil ngeluarin Hp-nya yang penuh dengan lagu-lagu dangdut favorit. Merry tidak protes, dia cukup keren menahan gengsi akibat dia sendirilah yang membuat aturan main tadi. Merry berdiri di tengah kami semua dan dengan ragu menggerakan pinggulnya ke kanan dan ke kiri. “yahelah Mer, itu mah bukan goyang tapi encok, kaku amat sih hahah.” Ucap Noval rese. Aku dan teman-temanku tertawa. Kasihan juga sih, tapi siapa suruh dia memilih tantangan?
                                                  *********
Putaran kedua, botol yang berputar kencang lagi-lagi membuatku harus merasa deg-degan seperti menanti undian kuis berhadiah di televisi. “teret-tereeeeeet berenti disiapa ini…” ucap Alfi ikut meramaikan suasana deg-degan. Dan… Falid. Merry tertawa puas saat botol itu berhenti didepan Falid dan bersumpah serapah akan memberikan tantangan yang kejam bin jahat spesialis untuk bocah tengil itu. “wes jangan kegirangan dulu lo, gue milih Truth sih bukan Dare.” Ujar Falid gak mau kalah.
“oke gue yang ngasih pertanyaan-pertanyaan nya.” Ucap Rama tenang. “setelah lo kecewa ditolak Shinta, lo suka sama siapa dikelas ini?” saat awal kelas 2 SMA dulu Falid memang sempat menyukai Shinta, namun ketika Falid sedang sangat berbunga-bungan dan dengan PEDEnya mengajak Shinta jadian, Shinta malah menolaknya mentah-mentah seperti ayam goreng yang belum matang akibat kehabisan minyak. “lo gila Lid? Gue mana tahan kalau punya cowok kayak lo? Centil, banyak gaya. Engga Lid gue gak bakal bisa, serius deh.” Jawab Shinta kejam saat itu. “tapi ta? Kemarin lo sempet bilang kalau lo suka dengan gaya gue.”
“iya tapi itu bukan berarti gue suka untuk jadi pacar! Ah ngaco aja deh lo.” Jawab Shinta yang kemudian meninggalkan Falid berdiri patah hati di bawah pohon Mangga parkiran sekolah. Aku, Lena, dan Nina saat itu tertawa geli melihat Falid yang memelas dan terlihat bodoh. Jelas Shinta tidak mau, selera Shinta adalah kakak kelas di sekolah, bukan teman sekelas, apalagi Falid? Kasihan…
gue gak suka sama siapa-siapa tuh.” Jawab Falid kepada Rama dan kepada kami semua. Wajahnya terlihat dibuat-buat, sok keren. “ah bohong! Lo kan sering ngeliatin Shinta sampe sekarang kalau lagi belajar di kelas.” Ucap Vidi meninju lengan Falid. Jujur saja, sebenarnya Falid sangat tampan, lumayan putih, tinggi, dan asik diajak ngobrol. Tetapi sepertinya cewek-cewek akan berfikir 1681 kali untuk menyukainya. “lid, kalo aja lo engga suka ngegodain cewek satu sekolah, dan bersikap sedikit lebih normal gitu, gue pasti jadi fans berat lo lid.” Ucap Nayla dalu saat sedang jam istirahat di kantin.
“apaan sih lo Vid? Beneran gue engga suka siapa-siapa… gue masih… hemm… masih kecewa sama Shinta.” Jawab Falid santai membuat Shinta melotot. Nina tertawa mendengarnya, “lo bisa kecewa juga Lid? Kasihannnnn  Haha.” Ejek Nina girang. “Sialan lo.” Ucap Falid kesal. Shinta mengambil botol dan memutarnya kembali, ia tampak kesal dengan jawaban Falid. Botol itu kembali berputar kencang, lalu lambat dan semakin lambat lagi hingga akhirnya berhenti kearah Lena. “yes Lena!” ucap Nina heboh sendiri dari luar lingkaran permainan. “yeeee girang banget Nin.” Komentar Tari. Hand phone ku berdering di meja rias kamar, namun aku tidak memperdulikanya hingga Ben memberitahu ku. “angkat aja dulu An, si pacar kangen kali tuh disana.” Ucapnya rese. Akupun keluar kamar dan melihat layar hand phone. Benar saja itu dari Iqbal. “halo?” Tanya nya dari sebrang sana.
“Len, gue mau lo jujur. Dari Shinta, Nina dan Anne, lo paling deket sama Anne. Apa yang ngebuat lo segitu deketnya sama dia?” Tanya Tari kepada Lena pada saat aku hendak masuk ke kamar lagi. Ternyata Lena memilih Truth. Aku mengurungkan diri untuk masuk kamar dan menguping di samping pintu kamar untuk mendengan jawaban Lena, aku tidak ingin Lena enggan menjawab yang baik-baik jika aku ada disana hehe.
“Anne itu baik, meskipun umurnya lebih muda dari gue, tapi gue merasa dia jauh lebih dewasa. Dia juga selalu siap sedia setiap kali gue, Shinta dan Nina butuh curhat hehe. Mungkin karena dia LDR, jadi waktunya lebih banyak untuk  kita semua.” Jawab Lena santai. Aku terharu mendengarnya. Shinta dan Nina pun menggangguk setuju, ikut merasakan terharu. Kemudian Tari kembali bertanya, “apa yang lo harapin untuk Anne? Secara dia selalu bisa jadi tempat curhat lo, Shinta dan Nina.”
Lena menatap Shinta dan Nina. Sepertinya Tari keliru, seharusnya ia mengajukan pertanyaan ini kepada mereka bertiga bukan hanya kepada Lena saja. “gue harap, Anne bisa punya pacar yang perhatian, setidaknya orang itu bisa buat Anne ketawa dan bahagia.” Astaga Lena, kenapa lo jawab kayak gitu?
“loh memang cowoknya Anne kenapa? Kok lo berharap kayak gitu?” Tanya Ben serius. “kepo banget Ben…” komentar Nina dari luar lingkaran permainan. “yeee kok pada ngomongin gue…” ucapku yang buru-buru masuk kamar  sebelum pembicaraan itu berlanjut. “oke pertanyaan terakhir nih Len.” Ucap Ikhsan akhirnya ikut bersuara. “dikelas ini, lo suka sama siapa? Hayooo jujur…”
“hemm… siapa ya? Gue gak suka sama siapa-siapa. Ya lo tau sendiri gue baru habis putus sama Danang.” Jawab Lena sedih. Ikhsan menatap Lena. “engga harus lo jawab suka jadi pacar atau pujaan hati, tapi yang lo anggap asik, cocok dan nyaman aja untuk lo.” Ucap Ikhsan yang sepertinya sangat ingin tahu siapa cowok yang paling menarik Lena di kelas.
“bukanya itu sama aja?” ucapku heran kepada Ikhsan. Teman-teman yang lain tertawa. “itu sama aja lo nyuruh Lena jawab siapa cowok yang paling dia suka dikelas kita.”
“so why? Gue boleh nanya apa ajakan?” jawab Ikhsan sambil senyum-senyum.
“oke-oke gue akan jawab, tapi catet! Ini bukan berarti gue naksir ya.” Ucap Lena tegas. Lena menarik nafas pelan dan memandangi kami semua. “menurut gue, yang paling asik, lucu dan gue seneng kalau lagi bercanda sama dia itu… hemm Falid.” Ucap Lena serius, “ Habis lo lucu sih Lid.” Lanjutnya dengan wajah sedikit memerah. Aku dan semua temanku tertawa geli, yang benar saja? dari semua cowok yang asik diajak ngobrol ternyata Lena memilih Falid. Ben menyenggol lengan Falid sambil tertawa senang. Falid terlihat malu-malu kucing dan kemudian ia berdehem. “ehem… thank you Len.”
Masih dengan malu-malu Falid memutar botol itu, tidak terlalu kencang. Aku memandangi ujung botol tersebut, mengikuti arah berputarnya hingga berhenti di depan Rama. Rama mengerutkan dahi nya kemudian berdehem. “gue pilih tantangan.”
“oke, gue yang kasih tantangan.” Ucap Vidi serius. “cium Tari di depan kita semua.”
Tari mengerutkan dahinya dan menolak mentah-mentah, namun Vidi terus memaksa. Aku dan teman-temanku tertawa geli, tantangan ini seperti bukanya hanya untuk Rama, tetapi untuk Tari juga. Rama ikut tertawa dan menatap jahil Tari, “kenapa sih sayang? Pake malu-malu segala hehe santai.”
Tari tetap menolak dan ngambek kepada Vidi dan Rama, sampai akhirnya Rama berkata manis dan berhasil membuat Tari kelepek-kelepek, “ lo gak perlu lagi Vid minta gue cium Tari di depan anak-anak. Dan kalau Tari menolak, ya gue sama lo gak bisa maksa. Lagipula tanpa diminta mencium Tari di depan kalian, lo semua udah taukan ke gentle-an gue? Gue gak pernah main-main dengan yang namanya perasaan.”
Spontan kami semua langsung tertawa menggoda Tari yang sepertinya sudah melayang mendengar pernyataan Rama yang entah itu gombalan belaka atau bukan.
“sebenernya..” ucap Falid tiba-tiba yang membungkus tawa kami semua menjadi diam. “sebenernya tadi gue bohong.” Spontan teman-temanku pun bersorak ramai sambil meninju lengan Falid, “waaaaah parah!”
gue udah engga suka kok sama Shinta, gue udah lama ngelupain Shinta. Dan yang dibilang Vidi tadi engga bener kalo gue sering ngeliatin Shinta. Gue… gue suka sama Lena. Gue bukan sering ngeliat Shinta kalo lagi belajar, tapi Lena.”
Sepertinya pengakuan Rama tadi membuat perasaan Falid terdesak untuk lebih jantan dan ini benar-benar membuat Lena kaget. “Len, kalo lo gak percaya sama apa yang gue bilang, lo bisa tanya ke Ben, dia tau semuanya.” Aku mencolek Lena yang sedari tadi diam saja. Len, Falid sedang katakan cinta kayak di reality show…
Falid berdiri dengan mantap sambil membetulkan posisi kerah bajunya. “lo mau kan Len jadi cewek gue? Gue serius dan gue janji bakal jadi cowok terkeren lo.”  Aku tertawa kecil mendengar pernyataan Falid, begitu juga Shinta dan Nina. “gue udah engga centil-centil lagi kok, gue sekarang cuma centil ke elo doang Len.”
Lena masih terdiam. Jiwanya seperti terbang ikut dewi asmara ke atas puncak Gunung Mas. Ternyata Lena bisa secepat itu jatuh cinta setelah 2 minggu yang lalu putus dari adik kelas. “Lo mau kan jadi cewek gue?” Tanya Falid lagi kepada Lena yang masih terdiam menatap Falid. Lena tersenyum tipis kemudian mengangguk. Astagaaaa! Aku, Shinta dan Nina bersorak tidak percaya.
Falid bergegas menghampiri Lena, “serius Len? Lo gak lagi main-mainkan jawabnya?” Tanya Falid semangat. Lena mengangguk dan kemudian tersenyum. “Yes! Yes! Yes! Ahahahah Lena I love youuu!” ucap Falid kegirangan sambil memeluk Lena erat. “stop Falid gue gak bisa nafas!” ujar Lena protes sambil memukul pelan bahu Falid, lalu tertawa.
                                                **********
Aku, Shinta, Lena dan Nina duduk dipinggir kolam renang. Menatap langit malam tanpa bintang setelah hujan reda. Saat ini pukul 01.00 pagi. Setelah acara katakan cinta tadi, permainan Truth or Dare berhenti dan kami semua langsung mengucapkan “selamat, semoga langgeng” yang mengakibatkan malam ini seperti kondangan dadakan.
“Len, bukanya tadi lo bilang kalau jangan dianggap lo naksir dengan orang yang lo sebut namanya pas Tari tadi nanya?” tanyan Nina sambil menyentuh air kolam yang dingin dengan ujung-ujung jari kakinya. Lena tersenyum manis. “lo tau gengsi kan Nin? Hehe.” Jawab Lena singkat namun cukup untuk menjawab pertanyaan Nina.
“kalian engga keberatan kan kalau gue jadian sama Falid?” Tanya Lena kepada kami, khususnya kepada Shinta. “enggak lah Lena, gue seneng lo bisa jatuh cinta lagi dan ini bukan sama adik kelas lagi.” jawab Shinta sambil tertawa senang. Tak lama kemudian kamipun memutuskan untuk masuk vila. Aku berjalan dibelakang teman-temanku sambil melihat SMS masuk, dari Iqbal. Akhir-akhir ini ia memang lebih bersikap manis setelah seminggu yang lalu kami bertengkar hebat akibat salah paham.
“hei An.” Sapa Ben yang sedang duduk di ruang tamu vila. Aku tersenyum padanya. “hai juga Ben.” Teman-temanku masuk kedalam kamar, sedangkan aku ikut duduk bersama Ben diruang tamu sambil membuka kemasan Oreo rasa cokelat.
“gimana kabar cowok lo?” Tanya Ben sambil mengunyah Oreo. Aku sudah terbiasa dengan pertanyaan teman-teman sekelasku soal Iqbal. Kami semua memang seperti sahabat.
“baik.” Jawabku singkat. Ben memajukan tubuhnya dan membenarkan posisi duduk. “sebaik apa?” Aku mengerutkan dahi kepada Ben, maksudnya? “ya baik, sebaik sekarang.” Jawabku bingung. Ben terseyum tipis padaku, kemudian mengunyah sisa Oreo dimulutnya lalu minum.
“padahal gue selalu berharap lo gak baik-baik aja sama dia.” Ucapnya sambil menatapku. Mata Ben jauh lebih teduh dari yang sering terlihat dan ini membuatku sangat bingung.
“Ben.” ucapku pelan. “gue engga…” Tiba-tiba Ben menyentuh bahuku dengan lebut, “lo engga harus ngerti ko An.” ucap Ben memotong perkataanku. “Seharusnya Truth or Dare tadi gak perlu membuat gue jadi lebih berharap sama diri lo.” Ben menghentikan kata-katanya dan meletakan kembali tanganya di sofa. Sedangkan aku masih memandangi Ben, mulai memahami apa maksudnya.
“tapi gue lebih beruntungkan dari Iqbal? Gue beruntung karena gue selalu bisa ngelakuin banyak hal bareng lo. Ngeliat lo setiap hari, ngobrol bareng lo setiap hari. Gue bisa  jagain lo setiap hari, ngeliat karya-karya lo yang selalu gue gemari di mading. Dan gue juga bisa ada disini berdua sama lo. Gue rasa lo juga akan tahu, gue memang jauh lebih beruntung dibanding Iqbal…” ucap Ben tersenyum lembut padaku.
Ben, andai saja kau lebih dulu datang…