Jika dilupakan, apakah itu artinya tidak penting? atau jika tidak penting, apakah akan selalu dilupakan?
duhai, aku tidak pernah mengerti sebab ataupun asal muasal perasaan remuk ini.
hingga malam merembet dalam kesedihan, aku hanya bisa menerka-nerka.
bahkan untuk menerka sekalipun, aku merasa berdosa. sebab kau tidak terlihat.
sebab kau tidak bisa terbacakan.
Jika dilupakan, apakah itu artinya tidak penting? atau jika tidak penting, apakah akan selalu dilupakan?
aku sendiri tidak pernah bisa tau lagi, apa itu penting dan tidak penting.
setidaknya semua itu terjadi setelah kau ada.
untukku semua hal yang tertoreh, semua berawalan namamu.
nama yang selalu ku ingat.
entah penting atau tidak, nama itu terus terukir nyata.
Jika dilupakan, apakah itu artinya tidak penting? atau jika tidak penting, apakah akan selalu dilupakan?
namun ternyata perasaan ini tidak mengenal timbal-balik.
ia mengabaikan sebab akibat ataupun sebuah balasan.
hingga kau yang melupakan dan dengan cepat menyergap hati dengan kekecewaan.
aku tidak pernah bisa benar-benar ingin melupakan.
hingga bulan ini berakhir sendu di 21 september, aku tidak pernah mengerti.
sebab, jika dilupakan, apakah itu artinya tidak penting? atau jika tidak penting, apakah akan selalu dilupakan?
aku tidak selalu bisa menulis jika kau ada, juga jika kau tak ada. namun kecintaan untuk menulis semakin mengesankan setelah kau ada.
Kamis, 26 September 2013
Jumat, 20 September 2013
19 Tahun
Malam terakhir usia 19 tahun.
Selamat datang usia 20 tahun, aku
bahagia akhirnya Tuhan masih mempertemukan kita dalam keadaan yang haru dan
romantis. Bagiku, usia dua puluh adalah usia awal kedewasaan diri. Aku
berjanji, kau akan menjadi wanita yang lebih baik!
Setelah berhasil melewati usia 19
tahun yang penuh cerita, aku sangat berterimakasih kepada keluarga, terutama
mama, yang sudah mempercayaiku sebagai “sahabat” nya. Kau tau usia 20? Mama
sudah menjadi sahabatku sejak aku berusia 19 tahun. Ia sering bercerita tentang
apa saja yang ia suka. dan tentu akupun menyukainya. Kau harus berterimakasih
kepada usia 19 karena ia telah berhasil menjadi sahabat bagi mama.
Cerita yang paling kusuka selama satu
tahun ini adalah cerita mama saat ia remaja dan dewasa. Baiklah, aku akan
menceritakanya sedikit disini. Pada suatu hari, oh tidak tidak, jangan pada
suatu hari (ini bukan dongeng), bagaimana jika kita memulainya dengan kata-kata
“Pada saat itu”.
Pada saat itu, mama remaja adalah
seorang gadis cantik berambut panjang sepinggul, hitam lebat dan lurus. bukan
karena jasa shampoo atau creambath di salon, tetapi karena minyak kelapa buatan
nenekku yang sering ia gunakan dirambutnya, terkadang ia juga menggunakan
minyak kemiri. Mama bukan gadis kota yang hidup berkecukupan, ia hanya seorang
anak kepala sekolah (jangan bayangkan kepala sekolah dahulu dengan kepala
sekolah saat ini, dahulu nasib guru dan kepala sekolah tidak semenarik sekarang,
pada saat itu pak Soeharto tidak memiliki kebijakan serta kepedulian terhadap
dunia pendidikan seperti pak SBY saat ini). Mama sering mendulang batu di
sungai belakang rumah. sungai yang bersih, lebar, dan ia sangat jago berenang.
meskipun sering melakukanya, kulit mama tetap putih, rambutnya tetap hitam
lebat, dan tentunya ia tetap cantik sebagai bunga Dahlia di desanya. Kesederhanaan
kakek mengajari mama banyak hal, ia sama sederhananya dengan kakek. Mama pernah
bercerita, suatu ketika pintu di sekolah yang kakek pimpin rusak,
bangku-bangkunya sudah reot dan sesekali mengeluarkan derit kayu rapuh jika
digerakkan. Tak segan-segan kakek membawa alat-alat kayu dan membetulkanya
sendiri. Hal itu kini menjadi inspirasi bagi mama. Saat ini, mama sedang dalam
proses seleksi kepala sekolah. Namanya sering kali masuk dalam Koran Radar Depok
atau Koran Monitor Depok sebagai guru perempuan yang membanggakan. Nama mama
selalu berada di tingkat satu atau nilai tertinggi dalam setiap tes. Aku sangat
yakin, banyak sekali nila-nilai yang ia adopsi dari kakek. Saat ini, ia sudah
memiliki nilai tertinggi di kecamatan sebagai guru, dan sebentar lagi akan
masuk tahap kota. Aku selalu mendengarkan cerita mama setiap kali ia bercerita
soal tes kepala sekolah, yangs sering kali membuatnya bingung, namun selalu bisa
ia lewati dengan sangat baik.
Selepas sekolah dasar di desa
Leuwiliang Bogor, mama lanjut ke SMP dan SPG (Sekolah Pendidikan Guru), yang
saat ini namanya dikenal dengan sekolah PGRI. Kakek ingin mama menjadi guru dan
PNS. Pada saat tahun 80-an, menjadi PNS bukanlah hal yang menarik. Gaji kecil,
Tunjangan pas-pasan. Namun itu bukanlah halangan bagi kakek dan mama. Menurut
kakek dan Mama, perempuan itu sangat cocok menjadi guru PNS karena guru
memiliki banyak waktu untuk keluarga. Sudah tentu maksudnya adalah agar mama
menjadi ibu rumah tangga dan wanita karir yang baik. Seorang guru dalam
sehari-harinya bisa melakukan : Pagi hari membuat sarapan untuk suami dan anak,
setelah itu ia pergi bekerja (mengajar), siang hari sudah pulang dan bisa
menyiapkan makan siang untuk anak, lalu mengurus pekerjaan rumah dan merawat
anak, malam hari suami dan anak bisa makan malam dengan apa yang ia hidangkan.
Ah, sebenarnya aku sedikit menyesal kenapa dahulu aku menolak kuliah di
Pendidikan. tetapi tak apalah, jangan terus aku sesali kuliah di hukum, siapa
tahu aku bisa menjadi dosen hukum. iya kan?
Oh iya usia 20, aku ingin mengatakan
suatu kalimat yang pernah mama ucapkan padaku ketika ia mulai menjadi
sahabatku, kau jangan menangis yaa! mama pernah bilang, “Sekarang beban hidup
terasa ringan karena mama bisa cerita sama anak, dahulu, waktu kamu masih
kecil, semua yang mama alami harus mama pendam sendiri, berjuang demi
anak-anak. pahit manis. tetapi sekarang mama sudah punya anak yang bisa diajak
sharing, Alhamdulillah.”
Aku berharap kamu bisa menjadi jauh
lebih baik dan dewasa, terutama untuk mama dan keluarga. Dan hei! Sampai ketemu
dipenghujung usia 20 yaa! aku akan membuatkan kisah yang lebih menarik dari
kisah 19 tahun ini untukmu. Thanks for this Sweetember
Rabu, 11 September 2013
hal itu, aku tak tau apa namanya.
malam tanpa gemintang tak berpengaruh dengan perasaan, mungkin. atau beberapa diantara kita justru sangat mencintai gemintang. yang bisa kau tulis serta lagukan dikala sendu atau senang. gemintang malam selalu bisa jadi penghias pikiranmu.
dan malam ini, aku tidak tau apakah sedang banyak gemintang atau tidak. kamar sudah mengunciku dengan kenyamanannya. lalu, senyap mulai menyergap. namun ternyata senyap-sunyi tidak selamanya sepi. terkadang satu-dua-kali aku membayangkan wajahmu yang terukir dalam angan. ah Tuan, bagiku mungkin gemintang tak lagi penting setelah kau yang hadir dalam langit-langit mimpi malamku.
tetapi senja itu, ketika gemintang sedang menunggu aba-aba langit untuk menghadirkanya, aku tidak tau kemana kau hilang. kau bilang sebentar, namun aku tidak juga melihat kau pulang. atau mungkin hanya perasaanku saja yang merasa kepergian mu lama? sebab seringkali melepaskan sesuatu yang sudah usang untuk kita miliki adalah hal berat- begitulah ucapan kana yang ku kutip.
lalu apakah ini?
ketika kau beranjak dan melambai, aku tak bisa menyebutnya perpisahan. bukan, tepatnya, aku tak mau menyebutnya demikian. meski telah beberapakali punggungmu menghilangn dalam kejauhan, aku tak tau apa itu perpisahan. jika memang benar perpisahan, kita pasti akan bertemu lagi bukan?
dan malam ini, aku tidak tau apakah sedang banyak gemintang atau tidak. kamar sudah mengunciku dengan kenyamanannya. lalu, senyap mulai menyergap. namun ternyata senyap-sunyi tidak selamanya sepi. terkadang satu-dua-kali aku membayangkan wajahmu yang terukir dalam angan. ah Tuan, bagiku mungkin gemintang tak lagi penting setelah kau yang hadir dalam langit-langit mimpi malamku.
tetapi senja itu, ketika gemintang sedang menunggu aba-aba langit untuk menghadirkanya, aku tidak tau kemana kau hilang. kau bilang sebentar, namun aku tidak juga melihat kau pulang. atau mungkin hanya perasaanku saja yang merasa kepergian mu lama? sebab seringkali melepaskan sesuatu yang sudah usang untuk kita miliki adalah hal berat- begitulah ucapan kana yang ku kutip.
lalu apakah ini?
ketika kau beranjak dan melambai, aku tak bisa menyebutnya perpisahan. bukan, tepatnya, aku tak mau menyebutnya demikian. meski telah beberapakali punggungmu menghilangn dalam kejauhan, aku tak tau apa itu perpisahan. jika memang benar perpisahan, kita pasti akan bertemu lagi bukan?
TRUTH OR DARE?
Bus berkecepatan 60 KM/ Jam
ini melesat melewati tol Jagorawi, dari arah Jakarta masuk kearah Puncak dan
keluar tepat di depan sebuah café besar Starbucks Coffee. Namun café tersebut
tidak dapat menarik perhatian dari salah seorangpun didalamnya.Mereka lebih
asik dengan “bus” itu sendiri dan semua rencana-rencana menyenangkan yang
sedari tadi tidak berhenti mereka bicarakan. Aku melirik jam tanganku, pukul
13.00 WIB, dan sekarang bus itu terhenti akibat jalur one way, tentu saja, ini
weekend. “kira-kira kita masih jauh dari vila kita menginap?” tanyaku kepada
Nina yang duduk di sebelahku, Nina mengangkat bahu .
“lo udah bilang ke
Iqbal soal acara ini?” Tanya Lena yang duduk di depanku dan Nina. Aku
mengganguk. Tentu saja aku sudah meminta
ijin dengan nya bahwa aku ikut acara perpisahan kelas 2 SMA di Puncak.
Sebenarnya tanpa meminta ijinpun Iqbal tidak akan tahu, toh aku denganya
Long Disctance Relationship, aku di Jakarta sedangkan ia berada di Jogjakarta
sedang menempuh studi S1 jurusan Hukum.
Setelah berlama-lama di dalam bus akhirnya kami sampai di vila
milik Rama yang letaknya tidak jauh dari KFC di Cisarua. “akhirnyaaa sampeeeee
jugaaa….” Ucap Falid sambil meregangkan tubuhnya dari rasa pegal-pegal.
Teman-temanku langsung berhamburan
keluar bus seperti anak SD. Aku bersama 3 orang teman terdekatku yaitu Shinta,
Lena, dan Nina berjalan bersama menuju ruang tamu vila dan menjatuhkan diri di
sofa besar berwarna putih tulang yang sangat empuk. “ah ngantuk banget sampe
sini.” ucap Shinta sambil menguap lebar.
“Guys, lo semua silahkan istirahat dulu, disini ada 2 kamar
besar, yang 1 untuk kita cowok-cowok dan satu lagi buat para wanita cantik. Gue
mau ke dapur dulu ngasih tahu pembantu disini untuk nyiapin makanan.”
Ucap Rama yang kemudian langsung ke dapur di intilin pacarnya, Tari.
“kayak pengantin baru aja tuh anak, nempel terus!” ucap Vidi ceplas ceplos yang
membuat kami semua ikutan menyeringai kelakuan 2 teman kami itu. Setelah
beristirahat dan makan siang di sore hari, teman-temanku mengganti pakaian nya
dan siap berenang di kolam renang berukuran 20 x 6 meter di belakang vila,
lumayan besar. Aku tidak mengganti pakaianku, cuaca disini sangat mendung dan
siap turun hujan. Tidak hujan saja disini sudah dingin, apalagi jika hujan?
“hey! Ayooo dong nyebur sini, masa gara-gara mau ujan pada
gak berani.” Seru Ikhsan heboh dari dalam kolam sambil mencipratkan air kepada
ku dan teman-temanku yang tidak ikut berenang. “kalo gue masuk angin lo
mau tanggung jawab?” jawab Nina sewot. Dari 3 orang teman terdekatku, yang
paling nyentrik adalah Nina. Bukan nyentrik dari penampilanya, tetapi dari
keberanianya sebagai cewek SMA. Doi selalu ceplas ceplos dan tidak suka diatur,
nilainya selalu bagus dalam pelajaran olahraga dan ia mengikuti eskul basket.
Dan kau tau? Nina terlalu cantik untuk ukuran cewek galak dan banyak sekali
cowok yang naksir di sekolah. Sedangkan Shinta, sebenarnya tidak jauh berbeda
dengan Nina, lumayan galak dan ikut eskul basket, ia memiliki rambut yang
panjang hitam berkilau seperti iklan shampoo dan jago dalam olahraga, hanya
saja tetap Nina nomor 1 dimata cowok-cowok sekolah. Dan yang terakhir adalah
Lena, cewek bertubuh tinggi dengan soft lense hitam dimatanya, tidak terlalu
jago olahraga tetapi dia selalu aktif dalam organisasi sekolah, sudah sejak
kelas 1 SMA Lena aktif sebagai MPK OSIS dan Panitia Wisuda disekolah. Sedangkan
aku, saat ini aku hanya aktif di eksul Mading sekolah, sebelumnya aku pernah
ikut PMR namun itu hanya berjalan satu tahun saja.
Byurrr! Tiba-tiba Noval mendorong Shinta dari belakang dan akhirnya
ia basah kuyup. “Novaaalll….! Apa-apaan sih? Rese banget!” ucapnya cemberut.
Noval hanya cekikikan dari pinggir kolam dengan celana boxernya. Peristiwa
cebur-menceburkanpun tidak dapat dihindari. Teman-temanku yang tidak ikut
berenang sibuk berlari kesana-sini dikejar teman yang lain kemudian ditangkap
lalu, byur! Basah semua.
“stop gak, stop! Falid jangan deket-deket!” ucapku kesal ketika
Falid mengejarku untuk segera diseret ke kolam, ia tidak menghiraukan ucapanku
dan sambil tertawa menghampiriku. “kesini gak lo! curang semuanya udah
basah cuma lo yang belum An, haha.” Dia menarik lengaku dengan kuat
meski aku terus menahanya dengan berpegangan ke pohon Palm di dekat kolam.
Sialnya Falid jauh lebih nekat dari apa yang ku bayangkan, dia menggendong ku!
Lalu akhirnya aku basah kuyup bercampur malu akibat perbuatan konyolnya
tersebut.
*******
Kami semua sibuk mengeringi rambut sambil meminum teh hangat yang
sudah disediakan pembantu Rama. Sambil memainkan gitar melody nya Falid berkata
“gimana kalo sekarang kita main kartu, gue bosen kalo harus
diem di dalam vila sambil nunggu hujan reda.”
Ikhsan mengeluarkan kartu remi dan memberikanya kepada Ben.
Teman-temanku membuat lingkaran di kamar cowok lalu Rama meletakan lipstick sumbangan
dari Tari di tengan-tengah lingkaran. Aku tidak ikut bermain, dari dulu hingga
saat ini aku tidak bisa memainkan kartu remi meskipun Lena sudah berkali-kali
mengajarkanya padaku. Hampir satu jam teman-temanku memainkan kartu itu, sampai
akhirnya Rama menyudahinya.
“ah ganti permainan deh,
basi banget yang kalah cuma dicoret pake lipstick.” Teman-temanku setuju, lalu
ikut menaruh kartu itu dengan sembarangan di depan mereka. Kemudian Merry yang
duduk disebelah Falid mempunyai ide bagus, sambil berdehem dan berlagak berada
di atas podium kepresidenan, Mery berkata “gue punya ide, gimana kalau
kita main Truth or Dare,” ucap Merry ceria. “ gue akan memutar botol
ditengah-tengah kita dan orang yang terpilih harus menentukan, Truth or Dare.
Pertanyaan yang dilontarkan kepada orang yang terpilih boleh berupa apa saja
dan boleh bersifat pribadi. Begitupun juga dengan tantangan nya. Lalu yang
terpilih harus jujur dan tidak boleh menolak . Oke?” kami semua memandangi Mery
sejenak dan kemudian setuju. Menarik juga, pikir ku.
“gue gak ikutan.” Ucap Nina tiba-tiba. “yaaaah gak asik
banget lo Nin.” Ujar Falid kecewa, begitu juga Rama, Noval, Ikhsan, Ben,
dan semua cowok yang ada di ruangan ini. “suka-suka gue dong, disini gue
jadi jurinya aja, kalau ada yang nolak pertanyaan atau tantangan biar gue habisin!”
jawab Nina lucu. Kamipun tidak memaksa Nina, sudah hafal dengan tabiatnya yang
galak namun sedikit penakut. Tetapi Noval tetap bersunggut tidak setuju, “ah
Nin, lo galak doang tapi pengecut.” Ucapnya sewot. Nina melotot
kearahnya dengan sebal.
Merry tidak mebuang-buang waktu, dengan cekatan ia menggambil botol
beling bekas syrup. Kami semua yang ikut dalam permainan itu berjumlah 15
orang, sedangkan sepuluh orang lainya tidak ikut dan lebih memilih main kartu,
dan seorang lagi yaitu Nina tidak ikut kedua permainan tersebut. “berhubung gue
yang mempunyai ide permainan ini, maka gue yang harus muter botolnya,
oke?” Tanya Merry yang sebenarnya ia sendiri tidak membutuhkan jawaban, toh dia
langsung memutar botol itu sebelum siapapun menjawab. Shinta duduk disebelah kanan
ku, lalu Lena, Rama, Tari, Noval, Ikhsan, Ben, Naiyla, Alfi, Falid, Janet, Gio,
Reni dan Kiki yang akhirnya ada disebelah kiriku.
Merry memutar dengan kencang sehingga botol itu berputar cepat.
Tetapi aku merasa botol itu berputar dengan sangat lambat sehingga banyak
sekali pertanyaan yang muncul dibenakku. Pertanyaan apa yang akan
dilontarkan oleh teman-temanku? Atau separah apa tantangan yang akan mereka
berikan? seharusnya aku ikut Nina duduk diluar lingkaran mengawasi
permainan ini. Sial. Lena menyenggol lenganku, “santai” bisiknya pelan. Aku
tertawa kecil dan mengangguk.
Botol itu berputar lebih lambat sekarang, aku dan teman-temanku
terlihat tegang seakan-akan botol itu adalah manusia yang sedang berlari dan
kami berteriak-teriak jangan dekati aku. Dengan perlahan tapi pasti, botol itu
akhirnya berhenti juga. Kearah Merry. Falid tertawa terbahak-bahak saat botol
itu berhenti di depan Merry dan ia mengucapkan kata-kata yang sangat belepotan
karena tercampur oleh ludah dari mulutnya yang muncrat akibat tertawa. “hahaha
rasain lo Mer! Makanya jangan sok keren, nah akhirnya hahahah nih botol berentikan
di depan lo? Hahaha Mer Mer… abis lu hahaha…”
Merry tampak kesal dengan perbuatan Falid yang memuncratkan ludah
ke tangannya. “ih tapi gak usah muncrat gitu kali! Jorok banget sih!” ucapnya
geram sambil memeperkan tangannya ke karpet. Kamipun tertawa melihat Falid yang
sangat menikmati kemalangan nasib Merry, namun sebelum Merry menangis padahal
ia belum memilih Truth or Dare, Rama langusng mengambil alih suasana. “udeh…
sekarang mending Merry kita kasih pilihan aja biar cepet, lo
pilih Truth or Dare nih Mer?”
Merry tampak ragu, aku seperti ikut merasakan hal itu dan kembali
berfikir cepat apa yang akan aku lakukan jika nanti botol itu berhenti di
depanku. “gue pilih tantangan.” Jawab Merry mantap. “serius lo?
Gak takut?” Tanya Tari ragu. Merry menggelengkan kepalanya “gue gak
takut kok.” Aku melihat teman-temanku saling bersitatap, tantanganya apa?.
Merry mengamati kami satu persatu, “gue mau tantangan itu dari… Lena.”
Kami semua langsung sibuk memperngaruhi Lena, apalagi teman-teman cowok ku.
“Len, kasih Merry tantangan suruh dia nyebur di kolam renang
sekarang.” Ucap Alfi sambil tertawa. “atau Merry buatin minuman dan siapin
cemilan untuk kita sekarang.” Ucap Tari. “atau suruh aja Merry ngebuka
bajunya hehehe.” Ucap Noval ngaco. Langsung seluruh bantal mampir ke wajahnya
hasil timpukan kami semua. “yeee dasar otak bokep!” komentar Shinta sewot.
Lena memandangi Merry dengan senyum manis yang jahil, “Gue
mau kalo Merry daftarin nada sambung di hp nya dengan lagu dangdut dan
dia harus nyanyi plus goyang dangdut di depan kita semua.” Merry sangat kaget
dan melotot ke arah Lena. “what???” kami semua setuju dengan ide cemerlang Lena
mengingat bahwa Merry anti dengan musik dangdut, jangankan untuk bernyanyi dan
bergoyang, mendengarnya saja Merry sudah merasa ada alergi dalam darahnya,
lebay kan?
“oke Coy, gue puterin nih lagu yang pas banget buat Merry,
Hamil Tiga Bulan,” ucap Falid girang sambil ngeluarin Hp-nya yang penuh dengan
lagu-lagu dangdut favorit. Merry tidak protes, dia cukup keren menahan gengsi
akibat dia sendirilah yang membuat aturan main tadi. Merry berdiri di tengah
kami semua dan dengan ragu menggerakan pinggulnya ke kanan dan ke kiri. “yahelah
Mer, itu mah bukan goyang tapi encok, kaku amat sih hahah.” Ucap Noval
rese. Aku dan teman-temanku tertawa. Kasihan juga sih, tapi siapa suruh dia
memilih tantangan?
*********
Putaran kedua, botol yang berputar kencang lagi-lagi membuatku
harus merasa deg-degan seperti menanti undian kuis berhadiah di televisi.
“teret-tereeeeeet berenti disiapa ini…” ucap Alfi ikut meramaikan suasana deg-degan.
Dan… Falid. Merry tertawa puas saat botol itu berhenti didepan Falid dan
bersumpah serapah akan memberikan tantangan yang kejam bin jahat spesialis
untuk bocah tengil itu. “wes jangan kegirangan dulu lo, gue milih
Truth sih bukan Dare.” Ujar Falid gak mau kalah.
“oke gue yang ngasih pertanyaan-pertanyaan nya.” Ucap Rama
tenang. “setelah lo kecewa ditolak Shinta, lo suka sama siapa
dikelas ini?” saat awal kelas 2 SMA dulu Falid memang sempat menyukai Shinta,
namun ketika Falid sedang sangat berbunga-bungan dan dengan PEDEnya mengajak
Shinta jadian, Shinta malah menolaknya mentah-mentah seperti ayam goreng yang
belum matang akibat kehabisan minyak. “lo gila Lid? Gue mana
tahan kalau punya cowok kayak lo? Centil, banyak gaya. Engga Lid gue
gak bakal bisa, serius deh.” Jawab Shinta kejam saat itu. “tapi ta? Kemarin lo
sempet bilang kalau lo suka dengan gaya gue.”
“iya tapi itu bukan berarti gue suka untuk jadi pacar! Ah
ngaco aja deh lo.” Jawab Shinta yang kemudian meninggalkan Falid berdiri
patah hati di bawah pohon Mangga parkiran sekolah. Aku, Lena, dan Nina saat itu
tertawa geli melihat Falid yang memelas dan terlihat bodoh. Jelas Shinta tidak
mau, selera Shinta adalah kakak kelas di sekolah, bukan teman sekelas, apalagi
Falid? Kasihan…
“gue gak suka sama siapa-siapa tuh.” Jawab Falid kepada Rama
dan kepada kami semua. Wajahnya terlihat dibuat-buat, sok keren. “ah bohong! Lo
kan sering ngeliatin Shinta sampe sekarang kalau lagi belajar di kelas.” Ucap
Vidi meninju lengan Falid. Jujur saja, sebenarnya Falid sangat tampan, lumayan
putih, tinggi, dan asik diajak ngobrol. Tetapi sepertinya cewek-cewek akan
berfikir 1681 kali untuk menyukainya. “lid, kalo aja lo engga
suka ngegodain cewek satu sekolah, dan bersikap sedikit lebih normal gitu,
gue pasti jadi fans berat lo lid.” Ucap Nayla dalu saat sedang jam
istirahat di kantin.
“apaan sih lo Vid? Beneran gue engga suka
siapa-siapa… gue masih… hemm… masih kecewa sama Shinta.” Jawab Falid
santai membuat Shinta melotot. Nina tertawa mendengarnya, “lo bisa
kecewa juga Lid? Kasihannnnn Haha.” Ejek
Nina girang. “Sialan lo.” Ucap Falid kesal. Shinta mengambil
botol dan memutarnya kembali, ia tampak kesal dengan jawaban Falid. Botol itu
kembali berputar kencang, lalu lambat dan semakin lambat lagi hingga akhirnya
berhenti kearah Lena. “yes Lena!” ucap Nina heboh sendiri dari luar lingkaran
permainan. “yeeee girang banget Nin.” Komentar Tari. Hand phone ku
berdering di meja rias kamar, namun aku tidak memperdulikanya hingga Ben
memberitahu ku. “angkat aja dulu An, si pacar kangen kali tuh disana.”
Ucapnya rese. Akupun keluar kamar dan melihat layar hand phone. Benar saja itu
dari Iqbal. “halo?” Tanya nya dari sebrang sana.
“Len, gue mau lo jujur. Dari Shinta, Nina dan Anne, lo
paling deket sama Anne. Apa yang ngebuat lo segitu deketnya sama
dia?” Tanya Tari kepada Lena pada saat aku hendak masuk ke kamar lagi. Ternyata
Lena memilih Truth. Aku mengurungkan diri untuk masuk kamar dan menguping di
samping pintu kamar untuk mendengan jawaban Lena, aku tidak ingin Lena enggan
menjawab yang baik-baik jika aku ada disana hehe.
“Anne itu baik, meskipun umurnya lebih muda dari gue, tapi gue
merasa dia jauh lebih dewasa. Dia juga selalu siap sedia setiap kali gue,
Shinta dan Nina butuh curhat hehe. Mungkin karena dia LDR, jadi waktunya lebih
banyak untuk kita semua.” Jawab Lena
santai. Aku terharu mendengarnya. Shinta dan Nina pun menggangguk setuju, ikut
merasakan terharu. Kemudian Tari kembali bertanya, “apa yang lo harapin
untuk Anne? Secara dia selalu bisa jadi tempat curhat lo, Shinta dan
Nina.”
Lena menatap Shinta dan Nina. Sepertinya Tari keliru, seharusnya ia
mengajukan pertanyaan ini kepada mereka bertiga bukan hanya kepada Lena saja. “gue
harap, Anne bisa punya pacar yang perhatian, setidaknya orang itu bisa buat
Anne ketawa dan bahagia.” Astaga Lena, kenapa lo jawab kayak gitu?
“loh memang cowoknya Anne kenapa? Kok lo berharap kayak
gitu?” Tanya Ben serius. “kepo banget Ben…” komentar Nina dari luar
lingkaran permainan. “yeee kok pada ngomongin gue…” ucapku yang
buru-buru masuk kamar sebelum pembicaraan
itu berlanjut. “oke pertanyaan terakhir nih Len.” Ucap Ikhsan akhirnya ikut
bersuara. “dikelas ini, lo suka sama siapa? Hayooo jujur…”
“hemm… siapa ya? Gue gak suka sama siapa-siapa. Ya lo
tau sendiri gue baru habis putus sama Danang.” Jawab Lena sedih. Ikhsan
menatap Lena. “engga harus lo jawab suka jadi pacar atau pujaan hati,
tapi yang lo anggap asik, cocok dan nyaman aja untuk lo.” Ucap
Ikhsan yang sepertinya sangat ingin tahu siapa cowok yang paling menarik Lena
di kelas.
“bukanya itu sama aja?” ucapku heran kepada Ikhsan.
Teman-teman yang lain tertawa. “itu sama aja lo nyuruh Lena jawab
siapa cowok yang paling dia suka dikelas kita.”
“so why? Gue boleh nanya apa ajakan?” jawab Ikhsan
sambil senyum-senyum.
“oke-oke gue akan jawab, tapi catet! Ini bukan berarti gue
naksir ya.” Ucap Lena tegas. Lena menarik nafas pelan dan memandangi kami
semua. “menurut gue, yang paling asik, lucu dan gue seneng kalau
lagi bercanda sama dia itu… hemm Falid.” Ucap Lena serius, “ Habis lo
lucu sih Lid.” Lanjutnya dengan wajah sedikit memerah. Aku dan semua
temanku tertawa geli, yang benar saja? dari semua cowok yang asik diajak
ngobrol ternyata Lena memilih Falid. Ben menyenggol lengan Falid sambil tertawa
senang. Falid terlihat malu-malu kucing dan kemudian ia berdehem. “ehem… thank
you Len.”
Masih dengan malu-malu Falid memutar botol itu, tidak terlalu
kencang. Aku memandangi ujung botol tersebut, mengikuti arah berputarnya hingga
berhenti di depan Rama. Rama mengerutkan dahi nya kemudian berdehem. “gue
pilih tantangan.”
“oke, gue yang kasih tantangan.” Ucap Vidi serius. “cium
Tari di depan kita semua.”
Tari mengerutkan dahinya dan menolak mentah-mentah, namun Vidi
terus memaksa. Aku dan teman-temanku tertawa geli, tantangan ini seperti
bukanya hanya untuk Rama, tetapi untuk Tari juga. Rama ikut tertawa dan menatap
jahil Tari, “kenapa sih sayang? Pake malu-malu segala hehe santai.”
Tari tetap menolak dan ngambek kepada Vidi dan Rama, sampai
akhirnya Rama berkata manis dan berhasil membuat Tari kelepek-kelepek, “ lo
gak perlu lagi Vid minta gue cium Tari di depan anak-anak. Dan kalau
Tari menolak, ya gue sama lo gak bisa maksa. Lagipula tanpa
diminta mencium Tari di depan kalian, lo semua udah taukan ke gentle-an
gue? Gue gak pernah main-main dengan yang namanya perasaan.”
Spontan kami semua langsung tertawa menggoda Tari yang sepertinya
sudah melayang mendengar pernyataan Rama yang entah itu gombalan belaka atau
bukan.
“sebenernya..” ucap Falid tiba-tiba yang membungkus tawa kami semua
menjadi diam. “sebenernya tadi gue bohong.” Spontan teman-temanku pun bersorak
ramai sambil meninju lengan Falid, “waaaaah parah!”
“gue udah engga suka kok sama Shinta, gue udah
lama ngelupain Shinta. Dan yang dibilang Vidi tadi engga bener kalo
gue sering ngeliatin Shinta. Gue… gue suka sama Lena. Gue
bukan sering ngeliat Shinta kalo lagi belajar, tapi Lena.”
Sepertinya pengakuan Rama tadi membuat perasaan Falid terdesak
untuk lebih jantan dan ini benar-benar membuat Lena kaget. “Len, kalo lo
gak percaya sama apa yang gue bilang, lo bisa tanya ke Ben, dia
tau semuanya.” Aku mencolek Lena yang sedari tadi diam saja. Len, Falid
sedang katakan cinta kayak di reality show…
Falid berdiri dengan mantap sambil membetulkan posisi kerah
bajunya. “lo mau kan Len jadi cewek gue? Gue serius dan gue
janji bakal jadi cowok terkeren lo.”
Aku tertawa kecil mendengar pernyataan Falid, begitu juga Shinta dan
Nina. “gue udah engga centil-centil lagi kok, gue sekarang cuma
centil ke elo doang Len.”
Lena masih terdiam. Jiwanya seperti terbang ikut dewi asmara ke
atas puncak Gunung Mas. Ternyata Lena bisa secepat itu jatuh cinta setelah 2
minggu yang lalu putus dari adik kelas. “Lo mau kan jadi cewek gue?”
Tanya Falid lagi kepada Lena yang masih terdiam menatap Falid. Lena tersenyum
tipis kemudian mengangguk. Astagaaaa! Aku, Shinta dan Nina bersorak tidak
percaya.
Falid bergegas menghampiri Lena, “serius Len? Lo gak lagi
main-mainkan jawabnya?” Tanya Falid semangat. Lena mengangguk dan kemudian
tersenyum. “Yes! Yes! Yes! Ahahahah Lena I love youuu!” ucap Falid kegirangan
sambil memeluk Lena erat. “stop Falid gue gak bisa nafas!” ujar Lena
protes sambil memukul pelan bahu Falid, lalu tertawa.
**********
Aku, Shinta, Lena dan Nina duduk dipinggir kolam renang. Menatap
langit malam tanpa bintang setelah hujan reda. Saat ini pukul 01.00 pagi.
Setelah acara katakan cinta tadi, permainan Truth or Dare berhenti dan kami
semua langsung mengucapkan “selamat, semoga langgeng” yang mengakibatkan malam
ini seperti kondangan dadakan.
“Len, bukanya tadi lo bilang kalau jangan dianggap lo
naksir dengan orang yang lo sebut namanya pas Tari tadi nanya?” tanyan
Nina sambil menyentuh air kolam yang dingin dengan ujung-ujung jari kakinya.
Lena tersenyum manis. “lo tau gengsi kan Nin? Hehe.” Jawab Lena singkat
namun cukup untuk menjawab pertanyaan Nina.
“kalian engga keberatan kan kalau gue jadian sama Falid?”
Tanya Lena kepada kami, khususnya kepada Shinta. “enggak lah Lena,
gue seneng lo bisa jatuh cinta lagi dan ini bukan sama adik kelas
lagi.” jawab Shinta sambil tertawa senang. Tak lama kemudian kamipun memutuskan
untuk masuk vila. Aku berjalan dibelakang teman-temanku sambil melihat SMS
masuk, dari Iqbal. Akhir-akhir ini ia memang lebih bersikap manis setelah
seminggu yang lalu kami bertengkar hebat akibat salah paham.
“hei An.” Sapa Ben yang sedang duduk di ruang tamu vila. Aku
tersenyum padanya. “hai juga Ben.” Teman-temanku masuk kedalam kamar, sedangkan
aku ikut duduk bersama Ben diruang tamu sambil membuka kemasan Oreo rasa cokelat.
“gimana kabar cowok lo?” Tanya Ben sambil mengunyah Oreo.
Aku sudah terbiasa dengan pertanyaan teman-teman sekelasku soal Iqbal. Kami
semua memang seperti sahabat.
“baik.” Jawabku singkat. Ben memajukan tubuhnya dan membenarkan
posisi duduk. “sebaik apa?” Aku mengerutkan dahi kepada Ben, maksudnya?
“ya baik, sebaik sekarang.” Jawabku bingung. Ben terseyum tipis padaku,
kemudian mengunyah sisa Oreo dimulutnya lalu minum.
“padahal gue selalu berharap lo gak baik-baik aja
sama dia.” Ucapnya sambil menatapku. Mata Ben jauh lebih teduh dari yang sering
terlihat dan ini membuatku sangat bingung.
“Ben.” ucapku pelan. “gue engga…” Tiba-tiba Ben menyentuh
bahuku dengan lebut, “lo engga harus ngerti ko An.” ucap Ben memotong
perkataanku. “Seharusnya Truth or Dare tadi gak perlu membuat gue jadi
lebih berharap sama diri lo.” Ben menghentikan kata-katanya dan
meletakan kembali tanganya di sofa. Sedangkan aku masih memandangi Ben, mulai
memahami apa maksudnya.
“tapi gue lebih beruntungkan dari Iqbal? Gue
beruntung karena gue selalu bisa ngelakuin banyak hal bareng lo.
Ngeliat lo setiap hari, ngobrol bareng lo setiap hari. Gue bisa jagain lo setiap hari, ngeliat
karya-karya lo yang selalu gue gemari di mading. Dan gue juga
bisa ada disini berdua sama lo. Gue rasa lo juga akan
tahu, gue memang jauh lebih beruntung dibanding Iqbal…” ucap Ben
tersenyum lembut padaku.
Ben, andai saja kau lebih dulu datang…
Langganan:
Postingan (Atom)