Selasa, 09 September 2014

NURHAYATI

Matanya terpejam lelah. Napasnya kian turun naik dan suara tenggorokanya semakin terdengar jelas. Aku duduk disebelahnya. Meletakan kedua telapak tanganku di kakinya. Memijat dengan perlahan dan berharap ia semakin tenang.
Kulitnya mulai mengendor dan semakin hitam legam termakan sinar matahari. Otot-otonya tak seberisi dulu. Rambutnya berwarna putih. Kerutan di wajahnya terlihat jelas meski kau melihatnya dari jauh. Namun kearifan yang terlukis disetiap guratan itu tetap terlihat. Semakin tua semakin nampak.
Terkadang air mata tertahan di ujung-ujung mataku. Merasa takut akan kehilangan yang kian nyata. Lelaki yang tertidur pulas di sebelahku, dahulu sangat kuat bagai tebing ditepi laut, kini hanya bisa tertidur dan tersenyum ketika ia terjaga.
Diriku sama sekali tidak memiliki hubungan darah denganya. Namanya tidak ada dibelakang namaku. Namun kami sama-sama tahu bahwa hidup kami bersama, dalam suatu takdir yang menggariskan untuk saling menguatkan.
                                                                                                ****
Sore di musim panas itu udara terasa hangat. Lembayung senja semakin menunjukan keindahanya ditemani burung-burung yang hendak pulang. Angin membawa beberapa helai daun kering berterbangan, mencari tanah mana yang bisa dijatuhkanya. Sore itu Lelaki brusia 28 tahun sedang duduk di tepi pantai. Memandang laut yang kini memancarkan bayangan siluet mentari. Namun ia tak sedang membuang waktu untuk bersantai-santai, sebab ia sedang menunggu Nurhayati, kekasih hatinya.
Sudah 2 jam lamanya, Nurhayati tak kunjung datang. Harapan yang ia bawa ketepi pantai ini semakin menipis kala ia menoleh ke jalan, dan Nurhayati tak juga terlihat. Ia mencoba menghibur diri dengan mimpi-mimpinya. Mimpi yang kelak akan ia jalani bersama Nurhayati. Tanganya terasa gatal, ingin rasanya segera ia berikan apa yang sedari tadi digenggamnya. Sebuah cincin berbatu kecubung ungu. Harapanya kembang kempis setiap kali melihat cincin itu namun Nurhayati tak juga datang.
“Zen!” teriak seseorang dari jalan raya. Lelaki itu menoleh kepada suara yang sudah sangat ia kenal. Nurhayati berlari-lari kecil menghampirinya. Sandai jepit yang ia kenakan terlalu besar untuk kakinya. “kau sudah lama menunggu? Ayo cepat. Kau harus kerumahku sekarang.” Ucap Nurhayati tergesa-gesa.
Mereka berlari-lari kecil menuju rumah Nurhayati. Tak jauh dari pantai ini, rumah sederhana bercat putih dengan melati di sekelilingnya membuat lelaki itu gugup. Detak jantung lelaki yang bernama Zen ini semakin cepat. Ia khawatir, namun iapun sudah sangat lama menantikan hal ini. Harapanya kembali mengembang bersama terpaan angin diwajahnya kala ia berlari. Untuk pertama kalinya, Nurhayati mengajak datang kerumah orang tuanya setelah 2 tahun mereka saling menegenal.
“Apa yang harus ku katakan kepada orang tua-mu, Nur? Apa aku harus memulai dengan menanyakan kabar mereka?” tanya lelaki itu gugup.
“Kau ini, anggap saja mereka orang tua-mu juga. Kau tidak akan gugup setelah kau bertemu dengan mereka.” Nurhayati membuka gerbang rumahnya yang terbuat dari kayu. Lelaki itu melihat banyak orang sedang duduk-duduk didalamnya, wajah mereka bersuka-cita.
Nurhayati mempersilahkan Zen duduk di dekat Ibu-nya. Mengenalkanya dan mulai menceritakan bahwa ia adalah sahabat yang sangat akrab. Lelaki itu tersenyum senang, mencoba menyesuaikan diri dengan orang tua Nurhayati yang usianya sudah berkepala enam.
“Maaf jika Nurhayati sering merepotkan mu, nak. Ia memang masih seperti anak-anak padahal usianya sudah 24 tahun.” Ucap Ibu Nurhayati ramah. Mereka semua tertawa. Lelaki itu merasakan kehangat, apakah ini sudah waktunya? Pikir Zen.
“Kau sudah makan, Nak?” tanya Ayah Nurhayati dari sisi lain di ruangan ini. Zen menjawab, sudah. Keakraban-pun mulai menyelubungi mereka. Lelaki itu semakin merasa bahwa Nurhayati adalah pilihan yang tepat. Keluarganya bagaikan kasur ditengah padang rumput yang empuk. Memberikan ketenangan dan perasaan bahagia.
“Nak Zen, kau pasti tidak tahu jika hari ini sangat penting bagi keluarga kami. Oleh karena itu Nurhayati mendadak membawamu kesini. Ia bilang, kau adalah sahabat baiknya, ia ingin kau ikut dalam kebahagiaan kami.” Ucap Ibu Nurhayati sangat ramah. Wajahnya teduh dan rambut putih terlihat di sela-sela turban yang menutupi kepalanya.
Lelaki itu mengangguk, “Aku sama sekali tak tahu jika Nurhayati ingin mengajak-ku kesini. Awalnya kami hanya akan bertemu di tepi pantai, Bu.” Jawabnya hangat. Nurhayati tersenyum mendengarnya. Ia duduk disebelah seorang yang sedari tadi bercakap-cakap dengan Ayah Nurhayati. Sedangkan beberapa orang lainya terlihat menikmati percakapan mereka masing-masing. Rumah Nurhayati memang sedang tidak sepi. Seorang itu menatap kepadanya. Kemudian Zen mencoba tersenyum.
“tetapi, Ibu sangat berterima kasih kau mau datang kesini.” Ucap Ibu Nurhayati, kemudian ia memanggil Nurhayati. “Kenalkan Zen dengan Rudi.”
Nurhayati memanggil seseorang yang bernama Rudi, seorang yang sedari tadi telah bercakap-cakap denganya. Nurhayati terlihat sangat bahagia. Matanya berbinar, wajahnya semakin kemerah-merehan seperti buah delima setiap kali bertatap muka dengan orang itu.
“Nak Zen, kenalkan ini Rudi. Memang sangat mendadak hari ini, tetapi kami senang akhirnya Nurhayati sudah bisa memutuskan hati. Maka dari itu ia meminta kau datang kesini, untuk ikut senang bersama keluarga kami.” Ucap Ibu Nurhayati. Senyumnya tulus seperti ia berbicara dengan anak lelakinya sendiri. Zen tersenyum, ia menjabat tangan Rudi yang usianya lebih muda, 26 tahun.
Rudi adalah lelaki yang baik. Tubuhnya tinggi dan kulitnya putih. Sorot matanya memperlihatkan bahwa ia memiliki kemauan yang kuat. “Saya Rudi, senang sekali bisa bertemu anda, Nurhayati memberi tahu saya jika sahabatnya, Zen, sudah seperti kakak nya sendiri.”
Ucapan Rudi membuat Zen kehilangan rasa hangat diruangan ini. Saat itu harapan yang mekar terasa semakin layu. Rudi, seorang yang memperlihatkan bahwa ia bukanlah keluarga Nurhayati. Zen menatap Nurhayati. Wajahnya masih kemerahan dan senyuman masih terukir indah ketika Rudi memperkenalkan diri pada Zen.
“Zen...” Ucap Nurhayati yang mengerti akan kebingungan lelaki tersebut. “Maaf sudah membuatmu bingung dengan mengajakmu datang dengan tiba-tiba. Tetapi hari ini aku sangat bahagia, aku ingin kau duduk disini merasaka kebahagiaan juga. Rudi datang melamar ku. Aku tidak tahu bahwa ia akan datang, oleh sebab itu aku terlambat menemui mu di tepi pantai dan kita jadi tidak bisa menikmati sore seperti biasanya.”
Sesaat, Zen merasa kegetiran yang mendalam, ucapan Nurhayati sudah meluruhkan harapanya menjadi desiran debu di tanah pasir. Senyumnya hilang. Semangatnya untuk mewujudkan mimpi-mimpinya sudah tenggelam bersama matahari senja. Zen hanya bisa mendengarkan ucapan Nurhayati dengan tatapan kosong, ia sudah tidak dapat mencerna apa yang Nurhayati katakan tadi. Pikiranya kacau, ia merasa sia-sia dan terkalahkan.
“Kau harus menjadi sahabat Rudi juga, kelak kita akan menghabiskan sore bersama. Dan aku akan sangat senang jika kau memberi tahuku siapa “Delima” yang sering kau ceritakan itu kepadaku.” Nurhayati mengucapkan kalimat tersebut dengan perasaan yang penuh kebahagiaan. Hatinya penuh dengan bunga-bunga bermekaran di musim semi.
                                                                                ****
“Namanya Delima.” Ucap Zen pada suatu sore di tepi pantai. Akhirnya Nurhayati berhasil membuat Zen mengatakan siapa pujaan hatinya. Sudah sejak lama, Nurhayati dibuatnya penasaran akan perempuan pujaan hati Zen, yang sering Zen tulis namanya di pasir pantai dengan inisial “D”.
“Delima? Tetapi, aku tidak tahu jika teman kita ada yang bernama Delima. Apa aku tidak mengenalnya?” tanya Nurhayati kebingungan. Zen tertawa kecil, giginya berjajar rapih membuat wajahnya semakin tampan. “Kau sangat mengenalnya, Nur. Hanya saja kau tak peka. Sudahlah, minggu depan kau akan tahu siapa Delima-ku.”
“kalau begitu, ajak Delima-mu ke pantai ini.”
Lelaki bernama Zen ini tak pernah menyadari, betapa pentingnya sebuah kejelasan bagi seorang wanita. Nurhayati mungkin tidak akan pernah tahu siapa Delima nya. Nurhayati mungkin tidak akan pernah menyangka akan perasaan Zen kepada dirinya.
Sore itu, Zen, dengan segenap tekadnya yang keliru, mempersiapkan diri untuk senja selanjutnya. Ia akan mempersiapkan janji-janji keseriusan kepada Nurhayati 7 hari lagi. Yang kelak ia akan tahu, kesiapan dirinya sia-sia.
                                                                                                ****
Aku tak pernah tahu apa yang ia inginkan saat ini. Tak ada yang lebih ku ketahui selain rindu dan penyesalan di dalam dirinya. Aku tak pernah tahu seperti apa paras wajah Nurhayati. Aku pun tak pernah tahu bagaimana Zen bisa menikah dengan wanita lain yang bukan Nurhayati.
Nurhayati, wanita yang tak akan pernah bisa ku ketahui dimana ia berada. Sebab Zen tidak pernah kembali lagi ke pantai itu setelah ia bertemu dengan Rudi, entah apakah saat itu Nurhayati mencarinya atau tidak, namun Zen tetap pergi. Ia tak lagi menyukai pantai dan senja seperti dahulu. Zen kini pergi bersama mimpi-mimpinya yang tinggal kepedihan.
Aku terus memijit dengan lembut lengan Zen, tulang-tulangnya terasa ditelapak tanganku. Zen tak lagi muda. Wajahnya menyiratkan kelelahan akan penantian. Ia adalah satu-satunya lelaki yang bisa menikah tanpa cinta. Kini usianya semakin menua dan tubuhnya rapuh. Hanya beberapa kali saja aku berbicara denganya, namun aku mengetahui siapa Zen dari nenek ku, wanita beranak satu yang dahulunya adalah seorang janda dan Zen menikahinya. Menikahinya tanpa cinta.

Nurhayati mungkin tak akan pernah tahu betapa Zen terlalu mencintainya, namun Zen, ia sendiri tak akan pernah mengerti, betapa Nenek-ku sangat mencintainya meski jiwa dan raganya semakin termakan usia, juga kenangan.

Zamrud

Berapa banyak orang yang sudah mengalami cinta segitiga? sudah berapa banyak yang akhirnya harus meninggalkan seoranng yang ia sayang?
Aku tidak pernah memperdulikan soal kehidupan dan cintaku. Entah berujung seperti apa, bagiku semua adalah sungai-sungai yang panjang, yang kemudian bermuara pada satu takdir yang tak mesti dipikirkan selagi masih mengarungi sungai tersebut.
                                                            ****
“Bagaimana? Kau suka?” tanyanya sambil tersenyum senang, memperlihatkan gigi putihnya yang rapih. Aku mengamati benda kecil ditanganku ini, sesuatu yang indah namun aku belum bisa menyukainya.
“cincin?” aku balik bertanya.
“tepatnya, cincin dengan batu zamrud. Orang-orang biasa menyebutnya emerald.” Ucapnya menjelaskan. Aku mengerutkan dahi ditengah senyumnya yang semakin sumringah tak karauan.
“lalu?” tanyaku kembali. Masih bingung.
“lalu kau akan memamakainya.” Ia menyentuh tangan kiriku dan memasangkan cincin berbatu hijau bening itu ke jari manisku. Senyumnya masih belum hilang, matanya berbinar.
“jaga cincin ini seperti aku menjaga mu, oke?” ucapnya penuh harap. Sedang aku mulai ikut merasakan harapan itu. Harapan yang terbelah dua.
“tetapi, ini seperti bukan tipeku. Maksudku, kau yakin memberikanya?” tanyaku. Pertanyaan yang sebenarnya hanya untuk menutupi rasa gerogiku.
“hahah, kau ini, kau memang tidak seperti wanita jakarta pada umumnya yang menyukai perhiasan. Aku tahu kau lebih suka menggunakan gelang tali berwarna-warni seperti anak SMA meski sebenarnya kau sudah 23 tahun. Tetapi, biarkan ini dijarimu. Perlahan kau akan terbiasa dan mungin akan menyukainya. Kau cocok dengan batu itu.”
                                                            ****
Bagaimanapun juga aku masih mencintainya, lelaki yang usianya terpaut 3 tahun lebih tua dariku ini sudah menempatkan tujuan hidupnya padaku. Aku pun menaruh harapan besar kepadanya. Harapan yang terbelah dua.
Sore itu senja sedang memamerkan lembayungnya dengan penuh kehangatan. Perlahan angin berhembus menerpa wajah kami yang tengah asik menikmati aroma tanah yang basah setelah hujan reda. Aku menoleh kepada lelaki bermata hitam kecoklatan ini. matanya masih penuh cinta seperti pertama kali kami mengenal 3 tahun yang lalu.
“aku sedang memikirkan Dimas, rasanya lucu sekali ya. Kita yang sudah tiga tahun pacara, didahului oleh Dimas yang baru sebulan pacaran, dan ia langsung akan menikah.” Ucap Rama sambil menoleh kearahku. Aku ikut tersenyum. Mencoba berfikir bahwa hal ini memang agak lucu.
“jika nanti kita berpergian hanya berdua tanpa Dimas lagi, pasti akan ada yang kurang. Kurang seru. Betulkan, Ken?” tanyanya kepadaku yang masih menerawang langit senja. Aku mengangguk, tersenyum tipis.
Rama menggenggam tanganku erat. Ia memejamkan matanya sejenak dan kembali berkata seraya membukanya. “Kau masih akan bersabar hingga tahun depan bukan? Aku janji, setelah tesisku selesai, kita akan menikah.” Ucapnya yang sudah berkali-kali ku dengar dan tak pernah hilang kesunggugan setiap kali mengutarakan janji itu. Aku mengangguk. Tersenyum.
“besok, aku ingin kita tidak terlambat melihat Dimas bersama wanitanya mengadap altar untuk mengucap janji pada Tuhan. Aku akan menjemputmu, sejam sebelum acara.” Rama mengecup keningku hangat.
                                                                        ****
Dimas mengetuk pintu rumahku. Wajahnya kelihatan lelah. Aku mempersilahkanya masuk. Secangkir teh hangat tanpa gula kuberikan padanya. Dimas berterimakasih. Aku melihat matanya yang selalu sendu, mata yang selalu menyimpan banyak kesedihan.
“jika kau ingin menginap, aku akan menyiapkan kamar tamu untukmu.” Ucapku pada Dimas si mata sendu.
“tidak perlu, Niken. Aku hanya sebentar. aku hanya ingin melihatmu setelah pulang lembur. Kau tau? Bos ku semakin menjengkelkan. Jika bukan karena gaji yang besar, aku tak mungkin bertahan disana.” Ucapnya sambil tersenyum meski wajahnya lelah.
“kau, hanya karena gaji yang besar itu. Masih bertahan di perusahaan aneh, kalau sudah lelah begini, pasti kaburnya kesini.” Ucapku sambil meninju pelan lengannya.
“tetapi kau harus paham Niken, gaji itu terlalu besar untuk kantor di Jakarta. Siapa pula yang menolaknya. Toh keuntungan ini untuk kita bersama, untuk kau si Ratu Gelang Tali.” Ujarnya tertawa kecil. Kamipun mengobrol ditengah kesunyian rumahku. Suasana yang selalu hangat dan menyenangkan jika ia datang. Mata sendunya tetap sendu meski ia sedang tertawa. Wajahnya bisa berbicara namun matanya tidak. Mata Dimas selalu dipenuhi oleh makna kesedihan. Malam ini kami mengobrol hingga larut. Hingga harapan ku tumbuh bersama dengn harapanya. Harapan yang terbelah dua.
                                                            *****
Ruangan ini sudah dipenuhi oleh keluarga Dimas dan wanitanya. Hanya beberapa kerabat terdekat saja yang datang. Aku dan Rama sudah duduk dibangku dan menunggu mempelai. Tak beberapa lama kemudian, pengantin pria masuk dan berjalan menghadap altar, pendeta sudah menunggunya.
Aku mengunakan cincin batu zamrud dijari manis tangan kiriku, sesekali menyentuh batu itu sambil menunggu pengucapan janji Dimas dan mempelainya. Ada rasa aneh ketika aku menyentuh batu hijau bening tersebut, rasanya dingin. Entah apa namanya, namun aku gelisah.
“kenapa, Sayang?” tanya Rama padaku. Aku menggeleng, tidak apa-apa. Ia tersenyum tipis dan kembali menyaksikan pernikahan Dimas. Wanitanya kini memasuki ruangan dengan gaun putih cantik dan wajah yang merona. Aku seperti melihat bidadari jatuh dalam dirinya, ada rasa haru sekaligus cemburu kepada sosok bidadari tersebut.
Kini aku menjadi saksi, atas semua janji yang Dimas utarakan kepada Tuhan, janji yang ia sumpahkan diatas segala-galanya didunia ini, janji yang bukan untuk sahabatnya, Niken Wigati. Tetapi untuk bidadari bergaun putih di sampingnya.
Aku tersenyum kepada Dimas, juga kepada Rama, senyuman untuk kedua lelaki yang dahulu adalah sahabatku sebelum akhirnya cintaku jatuh kepada Rama. Kami bertiga lebih dari dari sahabat yang telah bersama-sama menjalani kehidupan. Namun senyuman Dimas kepadaku, adalah senyuman yang mungkin kelak akan membuatku menangis sekaligus rindu.
Meski Dimas telah berjanji kepada Tuhan, ia tak pernah melupakan janjinya kepadaku. Dihari pernikahanya, aku masih melihat cincin batu zamrud mengikat dijari manisnya. Batu yang membelah harapanku menjadi dua. Harapan yang bercabang. Harapan akan cinta Dimas juga cinta Rama.
Malam sebelum pernikahanya, setelah aku dan Rama pulang menikmati senja. Sepucuk surat datang dari Dimas, ia tidak menuliskan banyak kalimat, namun aku tahu, banyak sekali maksud yang ia ingin utarakan...
Cinta memang tak pernah peduli dengan siapa dan bagaimana ia tumbuh, dimana dan kapan ia bersemi, hingga akhirnya iapun tak peduli, siapa yang pergi.
Cinta tetaplah suci, meski kadang ia datang dalam bentuk yang lain...
Aku mencintaimu, meski aku tahu bahwa kita tidak akan pernah memilih. Jika Tuhan menciptakan seorang Bidadari untukku, yang mungkin itu bukan kau Niken, namun aku tetap menginginkan mu sebagai Peri pencerah. Namun sayang, lagi-lagi cinta tak pernah bisa memilih...