Berapa banyak orang yang sudah
mengalami cinta segitiga? sudah berapa banyak yang akhirnya harus meninggalkan
seoranng yang ia sayang?
Aku tidak pernah memperdulikan soal
kehidupan dan cintaku. Entah berujung seperti apa, bagiku semua adalah
sungai-sungai yang panjang, yang kemudian bermuara pada satu takdir yang tak
mesti dipikirkan selagi masih mengarungi sungai tersebut.
****
“Bagaimana?
Kau suka?” tanyanya sambil tersenyum senang, memperlihatkan gigi putihnya yang
rapih. Aku mengamati benda kecil ditanganku ini, sesuatu yang indah namun aku
belum bisa menyukainya.
“cincin?”
aku balik bertanya.
“tepatnya,
cincin dengan batu zamrud. Orang-orang biasa menyebutnya emerald.” Ucapnya
menjelaskan. Aku mengerutkan dahi ditengah senyumnya yang semakin sumringah tak
karauan.
“lalu?”
tanyaku kembali. Masih bingung.
“lalu
kau akan memamakainya.” Ia menyentuh tangan kiriku dan memasangkan cincin
berbatu hijau bening itu ke jari manisku. Senyumnya masih belum hilang, matanya
berbinar.
“jaga
cincin ini seperti aku menjaga mu, oke?” ucapnya penuh harap. Sedang aku mulai
ikut merasakan harapan itu. Harapan yang terbelah dua.
“tetapi,
ini seperti bukan tipeku. Maksudku, kau yakin memberikanya?” tanyaku.
Pertanyaan yang sebenarnya hanya untuk menutupi rasa gerogiku.
“hahah,
kau ini, kau memang tidak seperti wanita jakarta pada umumnya yang menyukai
perhiasan. Aku tahu kau lebih suka menggunakan gelang tali berwarna-warni
seperti anak SMA meski sebenarnya kau sudah 23 tahun. Tetapi, biarkan ini
dijarimu. Perlahan kau akan terbiasa dan mungin akan menyukainya. Kau cocok
dengan batu itu.”
****
Bagaimanapun
juga aku masih mencintainya, lelaki yang usianya terpaut 3 tahun lebih tua
dariku ini sudah menempatkan tujuan hidupnya padaku. Aku pun menaruh harapan besar
kepadanya. Harapan yang terbelah dua.
Sore
itu senja sedang memamerkan lembayungnya dengan penuh kehangatan. Perlahan
angin berhembus menerpa wajah kami yang tengah asik menikmati aroma tanah yang
basah setelah hujan reda. Aku menoleh kepada lelaki bermata hitam kecoklatan
ini. matanya masih penuh cinta seperti pertama kali kami mengenal 3 tahun yang
lalu.
“aku
sedang memikirkan Dimas, rasanya lucu sekali ya. Kita yang sudah tiga tahun pacara,
didahului oleh Dimas yang baru sebulan pacaran, dan ia langsung akan menikah.”
Ucap Rama sambil menoleh kearahku. Aku ikut tersenyum. Mencoba berfikir bahwa
hal ini memang agak lucu.
“jika
nanti kita berpergian hanya berdua tanpa Dimas lagi, pasti akan ada yang
kurang. Kurang seru. Betulkan, Ken?” tanyanya kepadaku yang masih menerawang
langit senja. Aku mengangguk, tersenyum tipis.
Rama
menggenggam tanganku erat. Ia memejamkan matanya sejenak dan kembali berkata
seraya membukanya. “Kau masih akan bersabar hingga tahun depan bukan? Aku
janji, setelah tesisku selesai, kita akan menikah.” Ucapnya yang sudah
berkali-kali ku dengar dan tak pernah hilang kesunggugan setiap kali
mengutarakan janji itu. Aku mengangguk. Tersenyum.
“besok,
aku ingin kita tidak terlambat melihat Dimas bersama wanitanya mengadap altar
untuk mengucap janji pada Tuhan. Aku akan menjemputmu, sejam sebelum acara.”
Rama mengecup keningku hangat.
****
Dimas
mengetuk pintu rumahku. Wajahnya kelihatan lelah. Aku mempersilahkanya masuk.
Secangkir teh hangat tanpa gula kuberikan padanya. Dimas berterimakasih. Aku
melihat matanya yang selalu sendu, mata yang selalu menyimpan banyak kesedihan.
“jika
kau ingin menginap, aku akan menyiapkan kamar tamu untukmu.” Ucapku pada Dimas
si mata sendu.
“tidak
perlu, Niken. Aku hanya sebentar. aku hanya ingin melihatmu setelah pulang
lembur. Kau tau? Bos ku semakin menjengkelkan. Jika bukan karena gaji yang
besar, aku tak mungkin bertahan disana.” Ucapnya sambil tersenyum meski
wajahnya lelah.
“kau,
hanya karena gaji yang besar itu. Masih bertahan di perusahaan aneh, kalau
sudah lelah begini, pasti kaburnya kesini.” Ucapku sambil meninju pelan
lengannya.
“tetapi
kau harus paham Niken, gaji itu terlalu besar untuk kantor di Jakarta. Siapa
pula yang menolaknya. Toh keuntungan ini untuk kita bersama, untuk kau si Ratu
Gelang Tali.” Ujarnya tertawa kecil. Kamipun mengobrol ditengah kesunyian
rumahku. Suasana yang selalu hangat dan menyenangkan jika ia datang. Mata
sendunya tetap sendu meski ia sedang tertawa. Wajahnya bisa berbicara namun
matanya tidak. Mata Dimas selalu dipenuhi oleh makna kesedihan. Malam ini kami
mengobrol hingga larut. Hingga harapan ku tumbuh bersama dengn harapanya.
Harapan yang terbelah dua.
*****
Ruangan
ini sudah dipenuhi oleh keluarga Dimas dan wanitanya. Hanya beberapa kerabat
terdekat saja yang datang. Aku dan Rama sudah duduk dibangku dan menunggu
mempelai. Tak beberapa lama kemudian, pengantin pria masuk dan berjalan
menghadap altar, pendeta sudah menunggunya.
Aku
mengunakan cincin batu zamrud dijari manis tangan kiriku, sesekali menyentuh
batu itu sambil menunggu pengucapan janji Dimas dan mempelainya. Ada rasa aneh
ketika aku menyentuh batu hijau bening tersebut, rasanya dingin. Entah apa namanya, namun aku gelisah.
“kenapa,
Sayang?” tanya Rama padaku. Aku menggeleng, tidak
apa-apa. Ia tersenyum tipis dan kembali menyaksikan pernikahan Dimas.
Wanitanya kini memasuki ruangan dengan gaun putih cantik dan wajah yang merona.
Aku seperti melihat bidadari jatuh dalam dirinya, ada rasa haru sekaligus cemburu
kepada sosok bidadari tersebut.
Kini
aku menjadi saksi, atas semua janji yang Dimas utarakan kepada Tuhan, janji
yang ia sumpahkan diatas segala-galanya didunia ini, janji yang bukan untuk
sahabatnya, Niken Wigati. Tetapi untuk bidadari bergaun putih di sampingnya.
Aku
tersenyum kepada Dimas, juga kepada Rama, senyuman untuk kedua lelaki yang
dahulu adalah sahabatku sebelum akhirnya cintaku jatuh kepada Rama. Kami
bertiga lebih dari dari sahabat yang telah bersama-sama menjalani kehidupan.
Namun senyuman Dimas kepadaku, adalah senyuman yang mungkin kelak akan
membuatku menangis sekaligus rindu.
Meski
Dimas telah berjanji kepada Tuhan, ia tak pernah melupakan janjinya kepadaku.
Dihari pernikahanya, aku masih melihat cincin batu zamrud mengikat dijari
manisnya. Batu yang membelah harapanku menjadi dua. Harapan yang bercabang.
Harapan akan cinta Dimas juga cinta Rama.
Malam
sebelum pernikahanya, setelah aku dan Rama pulang menikmati senja. Sepucuk
surat datang dari Dimas, ia tidak menuliskan banyak kalimat, namun aku tahu,
banyak sekali maksud yang ia ingin utarakan...
Cinta memang tak pernah peduli
dengan siapa dan bagaimana ia tumbuh, dimana dan kapan ia bersemi, hingga akhirnya
iapun tak peduli, siapa yang pergi.
Cinta tetaplah suci, meski kadang
ia datang dalam bentuk yang lain...
Aku mencintaimu, meski aku tahu
bahwa kita tidak akan pernah memilih. Jika Tuhan menciptakan seorang Bidadari
untukku, yang mungkin itu bukan kau Niken, namun aku tetap menginginkan mu
sebagai Peri pencerah. Namun sayang, lagi-lagi cinta tak pernah bisa memilih...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar