Selasa, 09 September 2014

Zamrud

Berapa banyak orang yang sudah mengalami cinta segitiga? sudah berapa banyak yang akhirnya harus meninggalkan seoranng yang ia sayang?
Aku tidak pernah memperdulikan soal kehidupan dan cintaku. Entah berujung seperti apa, bagiku semua adalah sungai-sungai yang panjang, yang kemudian bermuara pada satu takdir yang tak mesti dipikirkan selagi masih mengarungi sungai tersebut.
                                                            ****
“Bagaimana? Kau suka?” tanyanya sambil tersenyum senang, memperlihatkan gigi putihnya yang rapih. Aku mengamati benda kecil ditanganku ini, sesuatu yang indah namun aku belum bisa menyukainya.
“cincin?” aku balik bertanya.
“tepatnya, cincin dengan batu zamrud. Orang-orang biasa menyebutnya emerald.” Ucapnya menjelaskan. Aku mengerutkan dahi ditengah senyumnya yang semakin sumringah tak karauan.
“lalu?” tanyaku kembali. Masih bingung.
“lalu kau akan memamakainya.” Ia menyentuh tangan kiriku dan memasangkan cincin berbatu hijau bening itu ke jari manisku. Senyumnya masih belum hilang, matanya berbinar.
“jaga cincin ini seperti aku menjaga mu, oke?” ucapnya penuh harap. Sedang aku mulai ikut merasakan harapan itu. Harapan yang terbelah dua.
“tetapi, ini seperti bukan tipeku. Maksudku, kau yakin memberikanya?” tanyaku. Pertanyaan yang sebenarnya hanya untuk menutupi rasa gerogiku.
“hahah, kau ini, kau memang tidak seperti wanita jakarta pada umumnya yang menyukai perhiasan. Aku tahu kau lebih suka menggunakan gelang tali berwarna-warni seperti anak SMA meski sebenarnya kau sudah 23 tahun. Tetapi, biarkan ini dijarimu. Perlahan kau akan terbiasa dan mungin akan menyukainya. Kau cocok dengan batu itu.”
                                                            ****
Bagaimanapun juga aku masih mencintainya, lelaki yang usianya terpaut 3 tahun lebih tua dariku ini sudah menempatkan tujuan hidupnya padaku. Aku pun menaruh harapan besar kepadanya. Harapan yang terbelah dua.
Sore itu senja sedang memamerkan lembayungnya dengan penuh kehangatan. Perlahan angin berhembus menerpa wajah kami yang tengah asik menikmati aroma tanah yang basah setelah hujan reda. Aku menoleh kepada lelaki bermata hitam kecoklatan ini. matanya masih penuh cinta seperti pertama kali kami mengenal 3 tahun yang lalu.
“aku sedang memikirkan Dimas, rasanya lucu sekali ya. Kita yang sudah tiga tahun pacara, didahului oleh Dimas yang baru sebulan pacaran, dan ia langsung akan menikah.” Ucap Rama sambil menoleh kearahku. Aku ikut tersenyum. Mencoba berfikir bahwa hal ini memang agak lucu.
“jika nanti kita berpergian hanya berdua tanpa Dimas lagi, pasti akan ada yang kurang. Kurang seru. Betulkan, Ken?” tanyanya kepadaku yang masih menerawang langit senja. Aku mengangguk, tersenyum tipis.
Rama menggenggam tanganku erat. Ia memejamkan matanya sejenak dan kembali berkata seraya membukanya. “Kau masih akan bersabar hingga tahun depan bukan? Aku janji, setelah tesisku selesai, kita akan menikah.” Ucapnya yang sudah berkali-kali ku dengar dan tak pernah hilang kesunggugan setiap kali mengutarakan janji itu. Aku mengangguk. Tersenyum.
“besok, aku ingin kita tidak terlambat melihat Dimas bersama wanitanya mengadap altar untuk mengucap janji pada Tuhan. Aku akan menjemputmu, sejam sebelum acara.” Rama mengecup keningku hangat.
                                                                        ****
Dimas mengetuk pintu rumahku. Wajahnya kelihatan lelah. Aku mempersilahkanya masuk. Secangkir teh hangat tanpa gula kuberikan padanya. Dimas berterimakasih. Aku melihat matanya yang selalu sendu, mata yang selalu menyimpan banyak kesedihan.
“jika kau ingin menginap, aku akan menyiapkan kamar tamu untukmu.” Ucapku pada Dimas si mata sendu.
“tidak perlu, Niken. Aku hanya sebentar. aku hanya ingin melihatmu setelah pulang lembur. Kau tau? Bos ku semakin menjengkelkan. Jika bukan karena gaji yang besar, aku tak mungkin bertahan disana.” Ucapnya sambil tersenyum meski wajahnya lelah.
“kau, hanya karena gaji yang besar itu. Masih bertahan di perusahaan aneh, kalau sudah lelah begini, pasti kaburnya kesini.” Ucapku sambil meninju pelan lengannya.
“tetapi kau harus paham Niken, gaji itu terlalu besar untuk kantor di Jakarta. Siapa pula yang menolaknya. Toh keuntungan ini untuk kita bersama, untuk kau si Ratu Gelang Tali.” Ujarnya tertawa kecil. Kamipun mengobrol ditengah kesunyian rumahku. Suasana yang selalu hangat dan menyenangkan jika ia datang. Mata sendunya tetap sendu meski ia sedang tertawa. Wajahnya bisa berbicara namun matanya tidak. Mata Dimas selalu dipenuhi oleh makna kesedihan. Malam ini kami mengobrol hingga larut. Hingga harapan ku tumbuh bersama dengn harapanya. Harapan yang terbelah dua.
                                                            *****
Ruangan ini sudah dipenuhi oleh keluarga Dimas dan wanitanya. Hanya beberapa kerabat terdekat saja yang datang. Aku dan Rama sudah duduk dibangku dan menunggu mempelai. Tak beberapa lama kemudian, pengantin pria masuk dan berjalan menghadap altar, pendeta sudah menunggunya.
Aku mengunakan cincin batu zamrud dijari manis tangan kiriku, sesekali menyentuh batu itu sambil menunggu pengucapan janji Dimas dan mempelainya. Ada rasa aneh ketika aku menyentuh batu hijau bening tersebut, rasanya dingin. Entah apa namanya, namun aku gelisah.
“kenapa, Sayang?” tanya Rama padaku. Aku menggeleng, tidak apa-apa. Ia tersenyum tipis dan kembali menyaksikan pernikahan Dimas. Wanitanya kini memasuki ruangan dengan gaun putih cantik dan wajah yang merona. Aku seperti melihat bidadari jatuh dalam dirinya, ada rasa haru sekaligus cemburu kepada sosok bidadari tersebut.
Kini aku menjadi saksi, atas semua janji yang Dimas utarakan kepada Tuhan, janji yang ia sumpahkan diatas segala-galanya didunia ini, janji yang bukan untuk sahabatnya, Niken Wigati. Tetapi untuk bidadari bergaun putih di sampingnya.
Aku tersenyum kepada Dimas, juga kepada Rama, senyuman untuk kedua lelaki yang dahulu adalah sahabatku sebelum akhirnya cintaku jatuh kepada Rama. Kami bertiga lebih dari dari sahabat yang telah bersama-sama menjalani kehidupan. Namun senyuman Dimas kepadaku, adalah senyuman yang mungkin kelak akan membuatku menangis sekaligus rindu.
Meski Dimas telah berjanji kepada Tuhan, ia tak pernah melupakan janjinya kepadaku. Dihari pernikahanya, aku masih melihat cincin batu zamrud mengikat dijari manisnya. Batu yang membelah harapanku menjadi dua. Harapan yang bercabang. Harapan akan cinta Dimas juga cinta Rama.
Malam sebelum pernikahanya, setelah aku dan Rama pulang menikmati senja. Sepucuk surat datang dari Dimas, ia tidak menuliskan banyak kalimat, namun aku tahu, banyak sekali maksud yang ia ingin utarakan...
Cinta memang tak pernah peduli dengan siapa dan bagaimana ia tumbuh, dimana dan kapan ia bersemi, hingga akhirnya iapun tak peduli, siapa yang pergi.
Cinta tetaplah suci, meski kadang ia datang dalam bentuk yang lain...
Aku mencintaimu, meski aku tahu bahwa kita tidak akan pernah memilih. Jika Tuhan menciptakan seorang Bidadari untukku, yang mungkin itu bukan kau Niken, namun aku tetap menginginkan mu sebagai Peri pencerah. Namun sayang, lagi-lagi cinta tak pernah bisa memilih...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar