Selasa, 09 September 2014

NURHAYATI

Matanya terpejam lelah. Napasnya kian turun naik dan suara tenggorokanya semakin terdengar jelas. Aku duduk disebelahnya. Meletakan kedua telapak tanganku di kakinya. Memijat dengan perlahan dan berharap ia semakin tenang.
Kulitnya mulai mengendor dan semakin hitam legam termakan sinar matahari. Otot-otonya tak seberisi dulu. Rambutnya berwarna putih. Kerutan di wajahnya terlihat jelas meski kau melihatnya dari jauh. Namun kearifan yang terlukis disetiap guratan itu tetap terlihat. Semakin tua semakin nampak.
Terkadang air mata tertahan di ujung-ujung mataku. Merasa takut akan kehilangan yang kian nyata. Lelaki yang tertidur pulas di sebelahku, dahulu sangat kuat bagai tebing ditepi laut, kini hanya bisa tertidur dan tersenyum ketika ia terjaga.
Diriku sama sekali tidak memiliki hubungan darah denganya. Namanya tidak ada dibelakang namaku. Namun kami sama-sama tahu bahwa hidup kami bersama, dalam suatu takdir yang menggariskan untuk saling menguatkan.
                                                                                                ****
Sore di musim panas itu udara terasa hangat. Lembayung senja semakin menunjukan keindahanya ditemani burung-burung yang hendak pulang. Angin membawa beberapa helai daun kering berterbangan, mencari tanah mana yang bisa dijatuhkanya. Sore itu Lelaki brusia 28 tahun sedang duduk di tepi pantai. Memandang laut yang kini memancarkan bayangan siluet mentari. Namun ia tak sedang membuang waktu untuk bersantai-santai, sebab ia sedang menunggu Nurhayati, kekasih hatinya.
Sudah 2 jam lamanya, Nurhayati tak kunjung datang. Harapan yang ia bawa ketepi pantai ini semakin menipis kala ia menoleh ke jalan, dan Nurhayati tak juga terlihat. Ia mencoba menghibur diri dengan mimpi-mimpinya. Mimpi yang kelak akan ia jalani bersama Nurhayati. Tanganya terasa gatal, ingin rasanya segera ia berikan apa yang sedari tadi digenggamnya. Sebuah cincin berbatu kecubung ungu. Harapanya kembang kempis setiap kali melihat cincin itu namun Nurhayati tak juga datang.
“Zen!” teriak seseorang dari jalan raya. Lelaki itu menoleh kepada suara yang sudah sangat ia kenal. Nurhayati berlari-lari kecil menghampirinya. Sandai jepit yang ia kenakan terlalu besar untuk kakinya. “kau sudah lama menunggu? Ayo cepat. Kau harus kerumahku sekarang.” Ucap Nurhayati tergesa-gesa.
Mereka berlari-lari kecil menuju rumah Nurhayati. Tak jauh dari pantai ini, rumah sederhana bercat putih dengan melati di sekelilingnya membuat lelaki itu gugup. Detak jantung lelaki yang bernama Zen ini semakin cepat. Ia khawatir, namun iapun sudah sangat lama menantikan hal ini. Harapanya kembali mengembang bersama terpaan angin diwajahnya kala ia berlari. Untuk pertama kalinya, Nurhayati mengajak datang kerumah orang tuanya setelah 2 tahun mereka saling menegenal.
“Apa yang harus ku katakan kepada orang tua-mu, Nur? Apa aku harus memulai dengan menanyakan kabar mereka?” tanya lelaki itu gugup.
“Kau ini, anggap saja mereka orang tua-mu juga. Kau tidak akan gugup setelah kau bertemu dengan mereka.” Nurhayati membuka gerbang rumahnya yang terbuat dari kayu. Lelaki itu melihat banyak orang sedang duduk-duduk didalamnya, wajah mereka bersuka-cita.
Nurhayati mempersilahkan Zen duduk di dekat Ibu-nya. Mengenalkanya dan mulai menceritakan bahwa ia adalah sahabat yang sangat akrab. Lelaki itu tersenyum senang, mencoba menyesuaikan diri dengan orang tua Nurhayati yang usianya sudah berkepala enam.
“Maaf jika Nurhayati sering merepotkan mu, nak. Ia memang masih seperti anak-anak padahal usianya sudah 24 tahun.” Ucap Ibu Nurhayati ramah. Mereka semua tertawa. Lelaki itu merasakan kehangat, apakah ini sudah waktunya? Pikir Zen.
“Kau sudah makan, Nak?” tanya Ayah Nurhayati dari sisi lain di ruangan ini. Zen menjawab, sudah. Keakraban-pun mulai menyelubungi mereka. Lelaki itu semakin merasa bahwa Nurhayati adalah pilihan yang tepat. Keluarganya bagaikan kasur ditengah padang rumput yang empuk. Memberikan ketenangan dan perasaan bahagia.
“Nak Zen, kau pasti tidak tahu jika hari ini sangat penting bagi keluarga kami. Oleh karena itu Nurhayati mendadak membawamu kesini. Ia bilang, kau adalah sahabat baiknya, ia ingin kau ikut dalam kebahagiaan kami.” Ucap Ibu Nurhayati sangat ramah. Wajahnya teduh dan rambut putih terlihat di sela-sela turban yang menutupi kepalanya.
Lelaki itu mengangguk, “Aku sama sekali tak tahu jika Nurhayati ingin mengajak-ku kesini. Awalnya kami hanya akan bertemu di tepi pantai, Bu.” Jawabnya hangat. Nurhayati tersenyum mendengarnya. Ia duduk disebelah seorang yang sedari tadi bercakap-cakap dengan Ayah Nurhayati. Sedangkan beberapa orang lainya terlihat menikmati percakapan mereka masing-masing. Rumah Nurhayati memang sedang tidak sepi. Seorang itu menatap kepadanya. Kemudian Zen mencoba tersenyum.
“tetapi, Ibu sangat berterima kasih kau mau datang kesini.” Ucap Ibu Nurhayati, kemudian ia memanggil Nurhayati. “Kenalkan Zen dengan Rudi.”
Nurhayati memanggil seseorang yang bernama Rudi, seorang yang sedari tadi telah bercakap-cakap denganya. Nurhayati terlihat sangat bahagia. Matanya berbinar, wajahnya semakin kemerah-merehan seperti buah delima setiap kali bertatap muka dengan orang itu.
“Nak Zen, kenalkan ini Rudi. Memang sangat mendadak hari ini, tetapi kami senang akhirnya Nurhayati sudah bisa memutuskan hati. Maka dari itu ia meminta kau datang kesini, untuk ikut senang bersama keluarga kami.” Ucap Ibu Nurhayati. Senyumnya tulus seperti ia berbicara dengan anak lelakinya sendiri. Zen tersenyum, ia menjabat tangan Rudi yang usianya lebih muda, 26 tahun.
Rudi adalah lelaki yang baik. Tubuhnya tinggi dan kulitnya putih. Sorot matanya memperlihatkan bahwa ia memiliki kemauan yang kuat. “Saya Rudi, senang sekali bisa bertemu anda, Nurhayati memberi tahu saya jika sahabatnya, Zen, sudah seperti kakak nya sendiri.”
Ucapan Rudi membuat Zen kehilangan rasa hangat diruangan ini. Saat itu harapan yang mekar terasa semakin layu. Rudi, seorang yang memperlihatkan bahwa ia bukanlah keluarga Nurhayati. Zen menatap Nurhayati. Wajahnya masih kemerahan dan senyuman masih terukir indah ketika Rudi memperkenalkan diri pada Zen.
“Zen...” Ucap Nurhayati yang mengerti akan kebingungan lelaki tersebut. “Maaf sudah membuatmu bingung dengan mengajakmu datang dengan tiba-tiba. Tetapi hari ini aku sangat bahagia, aku ingin kau duduk disini merasaka kebahagiaan juga. Rudi datang melamar ku. Aku tidak tahu bahwa ia akan datang, oleh sebab itu aku terlambat menemui mu di tepi pantai dan kita jadi tidak bisa menikmati sore seperti biasanya.”
Sesaat, Zen merasa kegetiran yang mendalam, ucapan Nurhayati sudah meluruhkan harapanya menjadi desiran debu di tanah pasir. Senyumnya hilang. Semangatnya untuk mewujudkan mimpi-mimpinya sudah tenggelam bersama matahari senja. Zen hanya bisa mendengarkan ucapan Nurhayati dengan tatapan kosong, ia sudah tidak dapat mencerna apa yang Nurhayati katakan tadi. Pikiranya kacau, ia merasa sia-sia dan terkalahkan.
“Kau harus menjadi sahabat Rudi juga, kelak kita akan menghabiskan sore bersama. Dan aku akan sangat senang jika kau memberi tahuku siapa “Delima” yang sering kau ceritakan itu kepadaku.” Nurhayati mengucapkan kalimat tersebut dengan perasaan yang penuh kebahagiaan. Hatinya penuh dengan bunga-bunga bermekaran di musim semi.
                                                                                ****
“Namanya Delima.” Ucap Zen pada suatu sore di tepi pantai. Akhirnya Nurhayati berhasil membuat Zen mengatakan siapa pujaan hatinya. Sudah sejak lama, Nurhayati dibuatnya penasaran akan perempuan pujaan hati Zen, yang sering Zen tulis namanya di pasir pantai dengan inisial “D”.
“Delima? Tetapi, aku tidak tahu jika teman kita ada yang bernama Delima. Apa aku tidak mengenalnya?” tanya Nurhayati kebingungan. Zen tertawa kecil, giginya berjajar rapih membuat wajahnya semakin tampan. “Kau sangat mengenalnya, Nur. Hanya saja kau tak peka. Sudahlah, minggu depan kau akan tahu siapa Delima-ku.”
“kalau begitu, ajak Delima-mu ke pantai ini.”
Lelaki bernama Zen ini tak pernah menyadari, betapa pentingnya sebuah kejelasan bagi seorang wanita. Nurhayati mungkin tidak akan pernah tahu siapa Delima nya. Nurhayati mungkin tidak akan pernah menyangka akan perasaan Zen kepada dirinya.
Sore itu, Zen, dengan segenap tekadnya yang keliru, mempersiapkan diri untuk senja selanjutnya. Ia akan mempersiapkan janji-janji keseriusan kepada Nurhayati 7 hari lagi. Yang kelak ia akan tahu, kesiapan dirinya sia-sia.
                                                                                                ****
Aku tak pernah tahu apa yang ia inginkan saat ini. Tak ada yang lebih ku ketahui selain rindu dan penyesalan di dalam dirinya. Aku tak pernah tahu seperti apa paras wajah Nurhayati. Aku pun tak pernah tahu bagaimana Zen bisa menikah dengan wanita lain yang bukan Nurhayati.
Nurhayati, wanita yang tak akan pernah bisa ku ketahui dimana ia berada. Sebab Zen tidak pernah kembali lagi ke pantai itu setelah ia bertemu dengan Rudi, entah apakah saat itu Nurhayati mencarinya atau tidak, namun Zen tetap pergi. Ia tak lagi menyukai pantai dan senja seperti dahulu. Zen kini pergi bersama mimpi-mimpinya yang tinggal kepedihan.
Aku terus memijit dengan lembut lengan Zen, tulang-tulangnya terasa ditelapak tanganku. Zen tak lagi muda. Wajahnya menyiratkan kelelahan akan penantian. Ia adalah satu-satunya lelaki yang bisa menikah tanpa cinta. Kini usianya semakin menua dan tubuhnya rapuh. Hanya beberapa kali saja aku berbicara denganya, namun aku mengetahui siapa Zen dari nenek ku, wanita beranak satu yang dahulunya adalah seorang janda dan Zen menikahinya. Menikahinya tanpa cinta.

Nurhayati mungkin tak akan pernah tahu betapa Zen terlalu mencintainya, namun Zen, ia sendiri tak akan pernah mengerti, betapa Nenek-ku sangat mencintainya meski jiwa dan raganya semakin termakan usia, juga kenangan.

Zamrud

Berapa banyak orang yang sudah mengalami cinta segitiga? sudah berapa banyak yang akhirnya harus meninggalkan seoranng yang ia sayang?
Aku tidak pernah memperdulikan soal kehidupan dan cintaku. Entah berujung seperti apa, bagiku semua adalah sungai-sungai yang panjang, yang kemudian bermuara pada satu takdir yang tak mesti dipikirkan selagi masih mengarungi sungai tersebut.
                                                            ****
“Bagaimana? Kau suka?” tanyanya sambil tersenyum senang, memperlihatkan gigi putihnya yang rapih. Aku mengamati benda kecil ditanganku ini, sesuatu yang indah namun aku belum bisa menyukainya.
“cincin?” aku balik bertanya.
“tepatnya, cincin dengan batu zamrud. Orang-orang biasa menyebutnya emerald.” Ucapnya menjelaskan. Aku mengerutkan dahi ditengah senyumnya yang semakin sumringah tak karauan.
“lalu?” tanyaku kembali. Masih bingung.
“lalu kau akan memamakainya.” Ia menyentuh tangan kiriku dan memasangkan cincin berbatu hijau bening itu ke jari manisku. Senyumnya masih belum hilang, matanya berbinar.
“jaga cincin ini seperti aku menjaga mu, oke?” ucapnya penuh harap. Sedang aku mulai ikut merasakan harapan itu. Harapan yang terbelah dua.
“tetapi, ini seperti bukan tipeku. Maksudku, kau yakin memberikanya?” tanyaku. Pertanyaan yang sebenarnya hanya untuk menutupi rasa gerogiku.
“hahah, kau ini, kau memang tidak seperti wanita jakarta pada umumnya yang menyukai perhiasan. Aku tahu kau lebih suka menggunakan gelang tali berwarna-warni seperti anak SMA meski sebenarnya kau sudah 23 tahun. Tetapi, biarkan ini dijarimu. Perlahan kau akan terbiasa dan mungin akan menyukainya. Kau cocok dengan batu itu.”
                                                            ****
Bagaimanapun juga aku masih mencintainya, lelaki yang usianya terpaut 3 tahun lebih tua dariku ini sudah menempatkan tujuan hidupnya padaku. Aku pun menaruh harapan besar kepadanya. Harapan yang terbelah dua.
Sore itu senja sedang memamerkan lembayungnya dengan penuh kehangatan. Perlahan angin berhembus menerpa wajah kami yang tengah asik menikmati aroma tanah yang basah setelah hujan reda. Aku menoleh kepada lelaki bermata hitam kecoklatan ini. matanya masih penuh cinta seperti pertama kali kami mengenal 3 tahun yang lalu.
“aku sedang memikirkan Dimas, rasanya lucu sekali ya. Kita yang sudah tiga tahun pacara, didahului oleh Dimas yang baru sebulan pacaran, dan ia langsung akan menikah.” Ucap Rama sambil menoleh kearahku. Aku ikut tersenyum. Mencoba berfikir bahwa hal ini memang agak lucu.
“jika nanti kita berpergian hanya berdua tanpa Dimas lagi, pasti akan ada yang kurang. Kurang seru. Betulkan, Ken?” tanyanya kepadaku yang masih menerawang langit senja. Aku mengangguk, tersenyum tipis.
Rama menggenggam tanganku erat. Ia memejamkan matanya sejenak dan kembali berkata seraya membukanya. “Kau masih akan bersabar hingga tahun depan bukan? Aku janji, setelah tesisku selesai, kita akan menikah.” Ucapnya yang sudah berkali-kali ku dengar dan tak pernah hilang kesunggugan setiap kali mengutarakan janji itu. Aku mengangguk. Tersenyum.
“besok, aku ingin kita tidak terlambat melihat Dimas bersama wanitanya mengadap altar untuk mengucap janji pada Tuhan. Aku akan menjemputmu, sejam sebelum acara.” Rama mengecup keningku hangat.
                                                                        ****
Dimas mengetuk pintu rumahku. Wajahnya kelihatan lelah. Aku mempersilahkanya masuk. Secangkir teh hangat tanpa gula kuberikan padanya. Dimas berterimakasih. Aku melihat matanya yang selalu sendu, mata yang selalu menyimpan banyak kesedihan.
“jika kau ingin menginap, aku akan menyiapkan kamar tamu untukmu.” Ucapku pada Dimas si mata sendu.
“tidak perlu, Niken. Aku hanya sebentar. aku hanya ingin melihatmu setelah pulang lembur. Kau tau? Bos ku semakin menjengkelkan. Jika bukan karena gaji yang besar, aku tak mungkin bertahan disana.” Ucapnya sambil tersenyum meski wajahnya lelah.
“kau, hanya karena gaji yang besar itu. Masih bertahan di perusahaan aneh, kalau sudah lelah begini, pasti kaburnya kesini.” Ucapku sambil meninju pelan lengannya.
“tetapi kau harus paham Niken, gaji itu terlalu besar untuk kantor di Jakarta. Siapa pula yang menolaknya. Toh keuntungan ini untuk kita bersama, untuk kau si Ratu Gelang Tali.” Ujarnya tertawa kecil. Kamipun mengobrol ditengah kesunyian rumahku. Suasana yang selalu hangat dan menyenangkan jika ia datang. Mata sendunya tetap sendu meski ia sedang tertawa. Wajahnya bisa berbicara namun matanya tidak. Mata Dimas selalu dipenuhi oleh makna kesedihan. Malam ini kami mengobrol hingga larut. Hingga harapan ku tumbuh bersama dengn harapanya. Harapan yang terbelah dua.
                                                            *****
Ruangan ini sudah dipenuhi oleh keluarga Dimas dan wanitanya. Hanya beberapa kerabat terdekat saja yang datang. Aku dan Rama sudah duduk dibangku dan menunggu mempelai. Tak beberapa lama kemudian, pengantin pria masuk dan berjalan menghadap altar, pendeta sudah menunggunya.
Aku mengunakan cincin batu zamrud dijari manis tangan kiriku, sesekali menyentuh batu itu sambil menunggu pengucapan janji Dimas dan mempelainya. Ada rasa aneh ketika aku menyentuh batu hijau bening tersebut, rasanya dingin. Entah apa namanya, namun aku gelisah.
“kenapa, Sayang?” tanya Rama padaku. Aku menggeleng, tidak apa-apa. Ia tersenyum tipis dan kembali menyaksikan pernikahan Dimas. Wanitanya kini memasuki ruangan dengan gaun putih cantik dan wajah yang merona. Aku seperti melihat bidadari jatuh dalam dirinya, ada rasa haru sekaligus cemburu kepada sosok bidadari tersebut.
Kini aku menjadi saksi, atas semua janji yang Dimas utarakan kepada Tuhan, janji yang ia sumpahkan diatas segala-galanya didunia ini, janji yang bukan untuk sahabatnya, Niken Wigati. Tetapi untuk bidadari bergaun putih di sampingnya.
Aku tersenyum kepada Dimas, juga kepada Rama, senyuman untuk kedua lelaki yang dahulu adalah sahabatku sebelum akhirnya cintaku jatuh kepada Rama. Kami bertiga lebih dari dari sahabat yang telah bersama-sama menjalani kehidupan. Namun senyuman Dimas kepadaku, adalah senyuman yang mungkin kelak akan membuatku menangis sekaligus rindu.
Meski Dimas telah berjanji kepada Tuhan, ia tak pernah melupakan janjinya kepadaku. Dihari pernikahanya, aku masih melihat cincin batu zamrud mengikat dijari manisnya. Batu yang membelah harapanku menjadi dua. Harapan yang bercabang. Harapan akan cinta Dimas juga cinta Rama.
Malam sebelum pernikahanya, setelah aku dan Rama pulang menikmati senja. Sepucuk surat datang dari Dimas, ia tidak menuliskan banyak kalimat, namun aku tahu, banyak sekali maksud yang ia ingin utarakan...
Cinta memang tak pernah peduli dengan siapa dan bagaimana ia tumbuh, dimana dan kapan ia bersemi, hingga akhirnya iapun tak peduli, siapa yang pergi.
Cinta tetaplah suci, meski kadang ia datang dalam bentuk yang lain...
Aku mencintaimu, meski aku tahu bahwa kita tidak akan pernah memilih. Jika Tuhan menciptakan seorang Bidadari untukku, yang mungkin itu bukan kau Niken, namun aku tetap menginginkan mu sebagai Peri pencerah. Namun sayang, lagi-lagi cinta tak pernah bisa memilih...


Selasa, 07 Januari 2014

Mimpi...

Hidup bukanlah sesuatu yang sederhana, tentu, aku mengingkan sesuatu yang luar biasa dalam hidup. semisal, berkeliling Indonesia tanpa pesawat. itu adalah mimpi terbesar yang ku genggam saat ini. mimpi untuk pergi keseluruh penjuru negri ini, yang konon sangat kaya. konon, ya. sebab aku masih belum bisa melihat dengan mata kepalaku sendiri secara langsung. selama ini, mimpi itu menggangtung dilangit-langit malam ku, semakin malam semakin hidup. rasanya indah bukan? menikmati Indonesia tanpa pesawat.
Semua keinginan ini muncul ketika aku dan Agung sepakat untuk sama-sama berniat sekolah setinggi-tingginya di negri ini. lalu ketika kamu touring kebeberapa tempat, dimulai yang dekat seperti Bogor, Puncak, Menjelajah Jakarta (Utara, Selatan, Barat, Timur, Pusat, semua sudah hatam), lalu ke Pantai Carita, hingga yang sangat mengesankan ke Yogyakarta (aku berangkat dari Kediri sedang Agung dari Jakarta dan kami bertemu di Yogya, menjelajah ke Parangtiris, Pantai Baron, Pantai Sundak, Pantai Sepanjang, lalu menikmati Keraton dan Malioboro ), lalu ke setelah itu kami benar-benar berangkat dari Jakarta menuju Jawa Tengah. tepatnya ke Ajibarang (dekat Purwokerto). semuanya tanpa pesawat. semuanya di warnai dengan lelah dan antusias. semua perasaan-perasaan semakin berkembang hingga mimpi ini terbentuk, keliling Indonesia tanpa pesawat. Melihat semua yang ada di negri ini, pantainya, lautnya, gunung dan bukit-bukitnya, penduduknya.
Ah, rasanya hati ku selalu makin membuncah setiap kali membicarakan mimpi ini. Apa yang akan ku lakukan jika aku berhasil menjelajahi negri ini? apakah aku akan tersenyum tanpa henti, atau menangis haru?
setidaknya aku memiliki mimpi ini dengan orang yang tepat. orang yang sudah memberikan banyak pengalaman berharga serta pengertian-pengertian kehidupan.
Indonesia adalah negri bak di dalam dongeng, memiliki segalanya. namun sayang, kita masih buta untuk dapat memajukanya. mimpi ku ini tentu tak kosong seperti bambu di hutan. aku memiliki jalan dan semoga kelak, dengan jalan itu aku bisa memeluk Indonesia-ku.
Meski belum lulus S1, aku ingin meneruskan S2 kelak di kenotarian UI, lalu Agung, ia akan memulai karirnya dengan berkecimpung di PERADI, APSI, atau lembaga manapun yang dianggapnya baik untuk menuju tujuan nya. aku ingin menjadi notaris, Agung menjadi pengacara.
pekerjaan yang berat namun tak berjadwal. yang memungkinkan kami untuk pergi mengarungi Indonesia kelak. pekerjaan yang kami cintai. ia suka berkelibat dengan hukum, sedang aku senang berlama-lama dengan pencatatan.
Ah ya, betapa Indonesia menyimpan berjuta rasa di nurani, betapa Soekarno dan Hatta adalah nabi bagi bangsa ini.

Jumat, 18 Oktober 2013

mencintai-Nya...

ibuku pernah berkata bahwa aku harus mencintai orang seperti dia. yang pandai beragama dan membaca hukum dari huruf-huruf gundul arab itu. aku setuju, namun ternyata tidak sepenuhnya. maksudku, mencintai seseorang dengan aturan dosa dan pahala adalah hal yang sulit dimengerti. semacam mancintai hakim dengan kitab undang-undangnya. ibu, biarkan aku mencintai orang lain, yang membawa agama dengan hatinya, bukan dengan kitab yang berisi dosa atau pahala. sebab Tuhan tidak pernah meminta pahala atau membenci dosaku. Tuhan hanya ingin Cinta yang ikhlas untuk DiriNya.

Jumat, 04 Oktober 2013

Payung Cinta Syifa



          Ruang kelas yang sunyi, semua masih terlihat tenang dengan lembar ujian masing-masing. Sudah 60 menit berlalu, dan sialnya, masih ada 5 nomer lagi yang belum aku selesaikan. Aku mencoba mengingat-ingat lagi rumus yang menyebalkan, menulisnya, menghapusnya, kemudian menulis lagi. Entahlah, yang penting semua soal ini terjawab. Bel istirahat berbunyi, ah akhirnya. Aku mengumpulkan kertas ujianku dan keluar kelas bersama Syifa dan Nunu. Sahabat terbaikku. Kami berkenalan saat masuk dikelas XI, maklum, setiap tahun di sekolahku  selalu ada pergantian kelas, pergantian teman, dan mungkin ada yang berganti pacar juga.
            Guys…” Ucap Syifa sambil membuka pesan di handphonenya saat kami sedang makan di kantin. “Tian lagi-lagi enggak bales sms, hampir dua minggu flat banget.”
Aku menghela napas panjang, sebenarnya tidak tega melihatnya selalu “menanti”. Syifa dan pacarnya, Tian, sudah menjalin hubungan sejak mereka kelas 3 SMP. Memang sih itu bisa dikatakan cinta monyet, tetapi hubungan itu terus berlanjut hingga sekarang. Meskipun sempat putus nyambung, aku sendiri tidak cukup mengerti mengapa Syifa mau CLBK lagi jika teringat cerita Syifa saat Tian menduakanya, rasanya itu adalah hal tergila yang pernah aku dengar. Pada saat itu hubungan mereka sudah 11 bulan lamanya, namun Tian tiba-tiba bersikap cuek bahkan sering mengabaikan apa yang Syifa ucapkan.
Syifa adalah perempuan cantik yang polos, namun bukan berarti ia akan diam saja untuk mengatasi hal ini. Syifa mencoba menghampiri Tian dirumahnya, yang kebetulan saat itu ada teman-teman Tian juga, dan ternyata Perempuan tersebut adalah tetangga Tian. Pertemuan tiga hati itu akhirnya terjadi diluar rencana. Tian yang terkejut mau tidak mau mengakui perselingkuhanya yang sudah ia lakukan selama 3 bulan. Lalu, aku tidak tahu apa yang ada dibenak Syifa saat itu, akhirnya Tian memutuskan untuk mengakhiri perselingkuhanya dan memilih Syifa. Dan sahabatku yang baik itu memaafkan Tian dengan alasan “aku sangat menyayangi Tian, Ca.”.
“Ca?” Tanya Syifa kesal membuyarkan lamunanku tadi.
            “Mungkin dia ketiduran semalem.” Jawabku mencoba menghibur. “Yaudah nanti coba di telfon, Tian lagi enggak ada pulsa mungkin.” Syifa menggangguk dan mencoba membetulkan kaca matanya yang sudah ia kenakan sejak SD. Kemudian ia membuka akun twitter dari handphone nya, mengetik nama “Tian Prasetya” pada bagian search. Sejenak dahinya mengerut, alisnya menjadi lebih tebal dan rahangnya mengeras. “Kenapa Syif?” Tanyaku heran. Syifa menyerahkan telfon genggamnya sambil mengusap ujung-ujung matanya. Aku mulai membaca apa yang Syifa maksud. Sesak. Aku tau semua mention di akun twitter ini membuat dada Syifa terhimpit rasa sedih.
            “Syif, kali ini aku gak bisa terima kalau kamu maafin Tian lagi! ini kedua kalinya.” Ucapku sedih sambil menyentuh bahu Syifa yang kian gemetar. Nunu ikut memeluknya.
                                                                        ****
            Keesokan harinya Syifa menelfon Tian. Setelah mengumpulkan seluruh perasaanya semalaman, akhirnya ia memberanikan diri untuk menanyakanya langsung kepada Sang Pacar.  “Mau kamu apa sekarang?”
            “Mau apa? Aku gak gimana-gimana, kamu aja yang berlebihan, itu cuma mention biasa kok.”
            “Biasa apa? Kamu sama dia pake sayang-sayang gitu ngomongnya. Kamu gak sadar kalau kamu masih pacar aku? Kalau kayak gini terus mending putus aja! Kamu gak pernah bisa berubah!”
            “Ah! Kalau mau putus, yasudah kita putus sekarang!” Jawab Tian kasar dan menutup telfon itu. Syifa menangis sejadi-jadinya. Sebenarnya ia tidak serius untuk mengatakan “putus”, itu hanya sebuah gertakan atau ucapan spontan yang ia utarakan. Tetapi Tian lebih keras dan justru malah Tian yang memutuskan hubungan mereka. Ah, Syifa yang malang.
                                                                        ****
            Aku dan Nunu duduk didepan bangku Syifa, mendengarkan cerita sendunya sambil sesegukan. Hari ini masih pagi, bel masuk sekolahpun belum berbunyi namun Syifa sudah menarik kami yang selalu siap mendengarkan ceritanya.
            “Akhirnya, malah aku yang diputusin Tian. Seharusnyakan aku yang mutisin…” Ucapnya tersedu-sedu. Nunu memberikan tissue padanya. “Kalau gitu, Tian memang sudah gak sayang lagi sama kamu. Ayo dong Syif, jangan nangis terus. Dengan sikap Tian yang kayak gitu, semakin menandakan bahwa dia enggak baik untuk kamu.” Ucap Nunu prihatin. Aku menggangguk setuju.
            Matanya semakin merah, tissue yang diberikan Nunu sepertinya tidak cukup. Aku memberikan Tissue yang baru. “Sudah mau bel nih, malu loh sama orang-orang kalau nangis begini. Lupain sejenak dulu yaa.” Ucapku sambil menepuk bahunya.
                                                                        ****
            Hari ini adalah hari terakhir ujian sekolah, dan sudah seminggu ini Syifa tidak membicarakan soal Tian kepada kami. Mungkin karena ujian sekolah ikut serta menelan kenangan pahit Tian yang mengharuskan Syifa belajar lebih sering karena kami akan lulus dari SMA. Beruntung Syifa masih bisa membagi perasaan dan otaknya dengan benar, jika tidak pasti ujian kali ini ia stress.
            “Kemarin aku ketemuan sama Tian.” Ucap Syifa kepada Aku dan Nunu sambil menunggu mikrolet di pinggir jalan raya dekat depan gerbang sekolah. Aku yang sedang meminum jus mangga sedikit tersendak. “Kok bisa?”
            “Iya bisa. Jadi kemarin itu dia nelfon aku. Dia cerita kalau dia kabur dari rumah.” Ucap Syifa dengan mata yang sedih. Aku dan Nunu mendengarkan dengan seksama, antara percaya atau tidak.
            “Kasihan dia, dia ribut sama keluarganya dan kabur dari rumah. Aku gak tega, makanya pas Tian nelfon dan bilang kabur dari rumah, aku langsung ketemuan sama Tian. Aku juga bawain dia makanan. Dia sekarang basecamp bandnya. Sekarang aku mau kesana lagi, Kasihan, Tian pasti belum makan siang.” Ucap Syifa, matanya terlihat berbinar-binar. Ia seperti sudah lupa dengan perselingkuhan-perselingkuhan Tian. Aku dan Nunu saling pandang. Entah Syifa amnesia atau sedang menjelma malaikat bagi Tian, kami tidak mengerti.
            Aku menghabiskan jusku dengan cepat dan menghela napas panjang, “Syif, kamu lupa soal kejadian minggu-minggu lalu? Kenapa bisa kamu sekarang malah jadi malaikatnya dia? Aku bingung sama Tian, dan lebih bingung lagi sama kamu.” Entah mengapa sikap Syifa ini mengecewakan aku dan Nunu, bagaimanapun Tian bersikap seolah Syifa adalah tempat ia berteduh, dan saat ia memiliki payung baru, ia membuang payung yang telah Syifa sediakan sepenuh hati dengan kesetiaan dan rasa sayang.
            “Bukannya aku lupa, tapi gimana? Kasihan kan Tian keadaanya lagi kayak gini. Di basecamp itupun Tian gak punya cukup uang.” Jawab Syifa sedih.
            “Terus pacar barunya memang kemana Syif? Kenapa dia gak nelfon pacarnya? Kok malah ke kamu sih?” Tanya Nunu geregetan.
            “Mereka sudah putus Nu, Tian bilang kalau dia nyesel banget selingkuh lagi. Dan dia juga bilang kalau cuma aku yang peduli sama dia, dia janji bahwa aku ini masa depanya.” Entah mengapa aku hampir mau muntah mendengar gombalan Tian yang Syifa ucapkan, Tetapi rasanya tidak mungkin aku muntah didepan Syifa. Aku dan Nunu akhirnya membiarkan Syifa pergi ke basecamp Tian. Semoga kali ini Tian benar-benar Insyaf.
                                                                        ****
            Setelah kejadian “minggatnya Tian dari rumah”, Syifa dan Tian jadian lagi. sudah sebulan ini hubungan mereka baik-baik saja meskipun sesekali ada pertengkaran kecil akibat salah paham.
“Oh iya, besok malam ada pensi nih di sekolahnya Tian, Tian manggung loh sama bandnya. Nanti kita nonton yuk Ca.” Pintanya sambil membetulkan kacamatanya. Aku terdiam sejenak dan menggelengkan kepala. “Enggak bisa Syif, acaranya malem ya pasti?” Tanyaku kembali dengan wajah yang sedikit sedih. Aku selalu tidak bisa keluar rumah dimalam hari, tidak seberuntung teman-teman yang lain.
            “Hemm yaudah-yaudah, kasihan si anak mama ini gak bisa keluar malem hahaha.”
            Malam harinya, Tian datang menjemput Syifa dirumahnya. Ia mengenakan kaos hitam dan celana hitam. mengenakan kalung hitam serta gelang tali berwarna hitam di pergelangan tangan kirinya. Syifa keluar rumah dengan baju berwarna merah, kerudung hitam dan rok bercorak.
            “Aneh banget sih penampilan kamu? Ganti deh roknya, pake celana jeans aja.” Komentar Tian tidak suka. Akhirnya Syifa pun mengganti pakaiannya dan setelah itu mereka langsung menuju sekolah Tian.
            Suasana disekolah Tian sangat ramai, panggung yang dihias dengan lampu-lampu cantik serta para peserta pensi sudah terlihat sibuk mempersiapkan penampilanya. Syifa diajak Tian untuk masuk kedalam ruang ganti. Disana banyak teman-teman Tian sedang bersiap-siap dengan alat musik mereka. Syifa terkejut bukan main. Mereka semua memakai baju hitam, dan teman perempuan Tian, yang mungkin adalah pacar-pacar dari cowok band inipun memakai baju hitam. Kok cuma aku yang pakai baju merah? Apa aku salah kostum ya?
            “Yuk keluar, sebentar lagi band kita dipanggil.” Ucap Tian kepada teman-temanya. Merekapun keluar ruangan dan tak lama kemudian, MC memanggil band Tian.
            “Kamu nonton paling depan ya.” Ucap Tian kepada Syifa dengan terburu-buru. Syifa menurut saja dan langsung menerobos desakan para penonton. “Hei Syif!” Teriak Nunu dari sisi lain di depan panggung. Ia melambaikan tangan dan menghampiri Syifa.
            “Hai Nu! Kamu sama siapa kesini?” Tanya Syifa sambil berteriak. Suasana disini sangat berisik. Terlebih ketika Band Tian memulai konsernya. “Sendirian haha.” Jawab Nunu senang. “Loh itukan Tian? Waw! Ternyata aliran musiknya Metal haha. Kamu ikutan nyanyi dong Syif, sambil gini nih jari kamu.” Ucap Nunu seru sambil mengacungkan jari telunjuk, ibu jari serta kelingkingnya. Tanda metal. Mereka berdua tertawa dan kembali menatap Tian yang sedang asik dengan bass ditanganya. Pertunjukan musik metal yang gokil.
            “Nu, sudah jam 10 malam nih, aku harus pulang.” Ucap Syifa ketika Tian selesai manggung.
            “Kamu enggak dianter Tian?” Tanya Nunu sambil meminum air mineral. Syifa menggeleng. “Hati-hati yaa.” Ucap Nunu sambil mengawasi Syifa naik kendaraan umum di sebrang jalan yang lenggang.
                                                                        ****
            Syifa menelfon Tian malam ini. Seminggu setelah pensi disekolahnya, Tian tidak menghubungi Syifa lagi. Tidak ada jawaban. Apa Tian enggak ada pulsa ya? Syifa keluar rumahnya dan menuju sebuah konter pulsa. Mamasukan nomer Tian dan mengisinya dengan pulsa. Namun sayang, lagi-lagi Tian tidak bisa dihubungi. Ia mengirim pesan SMS, tak lama kemudian Tian membalasnya.
            Ini siapa ya? Hp nya Tian lagi sama pacarnya.
            Bahunya kembali bergetar. Pacar? Dengan perasaan kacau ia memberanikan diri menelfon. “Ini Syifa, pacarnya Tian.” Ucapnya kepada seorang perempuan disebrang sana.
Kini ia mulai paham, ketika mereka kembali menjalin hubungan, ternyata Tian pun sedang menjalani hubungan dengan cewek lain. Dan itu artinya, Syifa-lah yang saat ini menjadi selingkuhan Tian.  Akhirnya, siang ini Syifa kembali memberanikan diri menemui Tian dirumahnya, bagaimanapun fakta yang ia tau sekarang, ia sangat ingin semua itu Tian sendiri yang mengutarakan. Namun sayang, Tian tidak disana.
            “Tian dari semalem belum pulang Syif, kamu mau tunggu aja? Biar nanti aku yang telfon Tian untuk bilang kamu ada dirumah.” Ucap kakak Tian baik. Namun Syifa menolak untuk menungu Tian. Ia memang akan menunggu Tian, namun tidak dirumahnya, ia terlalu sungkan dan malu jika harus menunggu Tian disana. Syifa pamit pulang dan ia duduk di pos ronda dekat gang rumah Tian. Akan lebih nyaman menunggu Tian dari sini. Pikirnya saat itu.
            Syifa duduk sambil menggenggam tangannya sendiri, bibirnya terasa kelu dan bendungan dimatanya sesekali menumpahkan air. Dimana Tian sekarang? Syifa sangat membutuhkan pernyataan lelaki itu. Matahari semakin menurun kearah barat, sudah 5 jam lamanya ia duduk di pos ini hingga langit menunjukan bercak-bercak merahnya.
            Neng, kok dari tadi disini? Neng kesasar ya?” Tanya seorang ibu yang kebetulan memiliki rumah disebelah pos ronda ini. Syifa menggeleng sambil menunjukan senyum terpaksanaya. Syifa menekan tombol telfon, menghubungiku yang sedang ada di rumah. “Ada apa Syif?” tanyaku bingung. Suaranya serak. Ia suliit mengeluarkan kata-katanya sendiri.
            “Ca, tolong bilang sama aku kalau aku adalah perempuan paling bodoh sedunia! Aku sudah didekat rumah Tian sejak pukul 1 siang dan aku gak tau dimana dia sekarang.” Ucapanya terbata-bata sambil menangis, napasnya tersenggal dan ia semakin sesak.
            “Syif, sekarang kamu pulang! Bodoh! untuk apa disana? Kemana Tian? Kamu cuma buang-buang waktu dan nyakitin perasaan sendri dengan nunggu Tian yang gak pasti seperti itu!” Ya Tuhan, kenapa Syifa selalu nekat?
            “Aku janji Ca, ini adalah yang terakhir. Aku akan nunggu Tian sampai pukul 8 malam, setelah itu aku janji sama kamu dan Nunu, ini adalah yang terakhir kalinya aku menunggu Tian. Aku cuma mau dengar semuanya dari Tian, aku butuh itu.” Kemudian Syifa menutup telfonya sambil menangis. Ia membiarkan dirinya sendiri menunggu sendu Tian yang hingga pukul 8 malam tidak kunjung datang.
            Syifa-pun pulang dengan mata yang lebam serta dada yang sesak. Tian tidak pernah datang kembali. Ia sudah mengenakan payung berteduh milik perempuan lain.