Matanya terpejam
lelah. Napasnya kian turun naik dan suara tenggorokanya semakin terdengar jelas.
Aku duduk disebelahnya. Meletakan kedua telapak tanganku di kakinya. Memijat
dengan perlahan dan berharap ia semakin tenang.
Kulitnya mulai
mengendor dan semakin hitam legam termakan sinar matahari. Otot-otonya tak
seberisi dulu. Rambutnya berwarna putih. Kerutan di wajahnya terlihat jelas
meski kau melihatnya dari jauh. Namun kearifan yang terlukis disetiap guratan
itu tetap terlihat. Semakin tua semakin nampak.
Terkadang air
mata tertahan di ujung-ujung mataku. Merasa takut akan kehilangan yang kian
nyata. Lelaki yang tertidur pulas di sebelahku, dahulu sangat kuat bagai tebing
ditepi laut, kini hanya bisa tertidur dan tersenyum ketika ia terjaga.
Diriku sama
sekali tidak memiliki hubungan darah denganya. Namanya tidak ada dibelakang
namaku. Namun kami sama-sama tahu bahwa hidup kami bersama, dalam suatu takdir
yang menggariskan untuk saling menguatkan.
****
Sore di musim
panas itu udara terasa hangat. Lembayung senja semakin menunjukan keindahanya
ditemani burung-burung yang hendak pulang. Angin membawa beberapa helai daun
kering berterbangan, mencari tanah mana yang bisa dijatuhkanya. Sore itu Lelaki
brusia 28 tahun sedang duduk di tepi pantai. Memandang laut yang kini
memancarkan bayangan siluet mentari. Namun ia tak sedang membuang waktu untuk
bersantai-santai, sebab ia sedang menunggu Nurhayati, kekasih hatinya.
Sudah 2 jam
lamanya, Nurhayati tak kunjung datang. Harapan yang ia bawa ketepi pantai ini
semakin menipis kala ia menoleh ke jalan, dan Nurhayati tak juga terlihat. Ia
mencoba menghibur diri dengan mimpi-mimpinya. Mimpi yang kelak akan ia jalani
bersama Nurhayati. Tanganya terasa gatal, ingin rasanya segera ia berikan apa
yang sedari tadi digenggamnya. Sebuah cincin berbatu kecubung ungu. Harapanya
kembang kempis setiap kali melihat cincin itu namun Nurhayati tak juga datang.
“Zen!” teriak
seseorang dari jalan raya. Lelaki itu menoleh kepada suara yang sudah sangat ia
kenal. Nurhayati berlari-lari kecil menghampirinya. Sandai jepit yang ia
kenakan terlalu besar untuk kakinya. “kau sudah lama menunggu? Ayo cepat. Kau
harus kerumahku sekarang.” Ucap Nurhayati tergesa-gesa.
Mereka
berlari-lari kecil menuju rumah Nurhayati. Tak jauh dari pantai ini, rumah
sederhana bercat putih dengan melati di sekelilingnya membuat lelaki itu gugup.
Detak jantung lelaki yang bernama Zen ini semakin cepat. Ia khawatir, namun
iapun sudah sangat lama menantikan hal ini. Harapanya kembali mengembang
bersama terpaan angin diwajahnya kala ia berlari. Untuk pertama kalinya,
Nurhayati mengajak datang kerumah orang tuanya setelah 2 tahun mereka saling
menegenal.
“Apa yang harus
ku katakan kepada orang tua-mu, Nur? Apa aku harus memulai dengan menanyakan
kabar mereka?” tanya lelaki itu gugup.
“Kau ini, anggap
saja mereka orang tua-mu juga. Kau tidak akan gugup setelah kau bertemu dengan
mereka.” Nurhayati membuka gerbang rumahnya yang terbuat dari kayu. Lelaki itu
melihat banyak orang sedang duduk-duduk didalamnya, wajah mereka bersuka-cita.
Nurhayati
mempersilahkan Zen duduk di dekat Ibu-nya. Mengenalkanya dan mulai menceritakan
bahwa ia adalah sahabat yang sangat akrab. Lelaki itu tersenyum senang, mencoba
menyesuaikan diri dengan orang tua Nurhayati yang usianya sudah berkepala enam.
“Maaf jika
Nurhayati sering merepotkan mu, nak. Ia memang masih seperti anak-anak padahal
usianya sudah 24 tahun.” Ucap Ibu Nurhayati ramah. Mereka semua tertawa. Lelaki
itu merasakan kehangat, apakah ini sudah waktunya? Pikir Zen.
“Kau sudah makan,
Nak?” tanya Ayah Nurhayati dari sisi lain di ruangan ini. Zen menjawab, sudah.
Keakraban-pun mulai menyelubungi mereka. Lelaki itu semakin merasa bahwa
Nurhayati adalah pilihan yang tepat. Keluarganya bagaikan kasur ditengah padang
rumput yang empuk. Memberikan ketenangan dan perasaan bahagia.
“Nak Zen, kau
pasti tidak tahu jika hari ini sangat penting bagi keluarga kami. Oleh karena
itu Nurhayati mendadak membawamu kesini. Ia bilang, kau adalah sahabat baiknya,
ia ingin kau ikut dalam kebahagiaan kami.” Ucap Ibu Nurhayati sangat ramah.
Wajahnya teduh dan rambut putih terlihat di sela-sela turban yang menutupi
kepalanya.
Lelaki itu
mengangguk, “Aku sama sekali tak tahu jika Nurhayati ingin mengajak-ku kesini.
Awalnya kami hanya akan bertemu di tepi pantai, Bu.” Jawabnya hangat. Nurhayati
tersenyum mendengarnya. Ia duduk disebelah seorang yang sedari tadi
bercakap-cakap dengan Ayah Nurhayati. Sedangkan beberapa orang lainya terlihat
menikmati percakapan mereka masing-masing. Rumah Nurhayati memang sedang tidak
sepi. Seorang itu menatap kepadanya. Kemudian Zen mencoba tersenyum.
“tetapi, Ibu
sangat berterima kasih kau mau datang kesini.” Ucap Ibu Nurhayati, kemudian ia
memanggil Nurhayati. “Kenalkan Zen dengan Rudi.”
Nurhayati
memanggil seseorang yang bernama Rudi, seorang yang sedari tadi telah
bercakap-cakap denganya. Nurhayati terlihat sangat bahagia. Matanya berbinar, wajahnya
semakin kemerah-merehan seperti buah delima setiap kali bertatap muka dengan orang
itu.
“Nak Zen,
kenalkan ini Rudi. Memang sangat mendadak hari ini, tetapi kami senang akhirnya
Nurhayati sudah bisa memutuskan hati. Maka dari itu ia meminta kau datang
kesini, untuk ikut senang bersama keluarga kami.” Ucap Ibu Nurhayati. Senyumnya
tulus seperti ia berbicara dengan anak lelakinya sendiri. Zen tersenyum, ia
menjabat tangan Rudi yang usianya lebih muda, 26 tahun.
Rudi adalah
lelaki yang baik. Tubuhnya tinggi dan kulitnya putih. Sorot matanya
memperlihatkan bahwa ia memiliki kemauan yang kuat. “Saya Rudi, senang sekali
bisa bertemu anda, Nurhayati memberi tahu saya jika sahabatnya, Zen, sudah
seperti kakak nya sendiri.”
Ucapan Rudi
membuat Zen kehilangan rasa hangat diruangan ini. Saat itu harapan yang mekar
terasa semakin layu. Rudi, seorang yang memperlihatkan bahwa ia bukanlah
keluarga Nurhayati. Zen menatap Nurhayati. Wajahnya masih kemerahan dan
senyuman masih terukir indah ketika Rudi memperkenalkan diri pada Zen.
“Zen...” Ucap
Nurhayati yang mengerti akan kebingungan lelaki tersebut. “Maaf sudah membuatmu
bingung dengan mengajakmu datang dengan tiba-tiba. Tetapi hari ini aku sangat
bahagia, aku ingin kau duduk disini merasaka kebahagiaan juga. Rudi datang
melamar ku. Aku tidak tahu bahwa ia akan datang, oleh sebab itu aku terlambat
menemui mu di tepi pantai dan kita jadi tidak bisa menikmati sore seperti
biasanya.”
Sesaat, Zen
merasa kegetiran yang mendalam, ucapan Nurhayati sudah meluruhkan harapanya
menjadi desiran debu di tanah pasir. Senyumnya hilang. Semangatnya untuk
mewujudkan mimpi-mimpinya sudah tenggelam bersama matahari senja. Zen hanya
bisa mendengarkan ucapan Nurhayati dengan tatapan kosong, ia sudah tidak dapat
mencerna apa yang Nurhayati katakan tadi. Pikiranya kacau, ia merasa sia-sia
dan terkalahkan.
“Kau harus
menjadi sahabat Rudi juga, kelak kita akan menghabiskan sore bersama. Dan aku
akan sangat senang jika kau memberi tahuku siapa “Delima” yang sering kau
ceritakan itu kepadaku.” Nurhayati mengucapkan kalimat tersebut dengan perasaan
yang penuh kebahagiaan. Hatinya penuh dengan bunga-bunga bermekaran di musim semi.
****
“Namanya
Delima.” Ucap Zen pada suatu sore di tepi pantai. Akhirnya Nurhayati berhasil
membuat Zen mengatakan siapa pujaan hatinya. Sudah sejak lama, Nurhayati
dibuatnya penasaran akan perempuan pujaan hati Zen, yang sering Zen tulis
namanya di pasir pantai dengan inisial “D”.
“Delima? Tetapi,
aku tidak tahu jika teman kita ada yang bernama Delima. Apa aku tidak
mengenalnya?” tanya Nurhayati kebingungan. Zen tertawa kecil, giginya berjajar
rapih membuat wajahnya semakin tampan. “Kau sangat mengenalnya, Nur. Hanya saja
kau tak peka. Sudahlah, minggu depan kau akan tahu siapa Delima-ku.”
“kalau begitu,
ajak Delima-mu ke pantai ini.”
Lelaki bernama
Zen ini tak pernah menyadari, betapa pentingnya sebuah kejelasan bagi seorang
wanita. Nurhayati mungkin tidak akan pernah tahu siapa Delima nya. Nurhayati
mungkin tidak akan pernah menyangka akan perasaan Zen kepada dirinya.
Sore itu, Zen,
dengan segenap tekadnya yang keliru, mempersiapkan diri untuk senja
selanjutnya. Ia akan mempersiapkan janji-janji keseriusan kepada Nurhayati 7
hari lagi. Yang kelak ia akan tahu, kesiapan dirinya sia-sia.
****
Aku tak pernah
tahu apa yang ia inginkan saat ini. Tak ada yang lebih ku ketahui selain rindu
dan penyesalan di dalam dirinya. Aku tak pernah tahu seperti apa paras wajah
Nurhayati. Aku pun tak pernah tahu bagaimana Zen bisa menikah dengan wanita
lain yang bukan Nurhayati.
Nurhayati,
wanita yang tak akan pernah bisa ku ketahui dimana ia berada. Sebab Zen tidak
pernah kembali lagi ke pantai itu setelah ia bertemu dengan Rudi, entah apakah
saat itu Nurhayati mencarinya atau tidak, namun Zen tetap pergi. Ia tak lagi
menyukai pantai dan senja seperti dahulu. Zen kini pergi bersama mimpi-mimpinya
yang tinggal kepedihan.
Aku terus memijit
dengan lembut lengan Zen, tulang-tulangnya terasa ditelapak tanganku. Zen tak
lagi muda. Wajahnya menyiratkan kelelahan akan penantian. Ia adalah
satu-satunya lelaki yang bisa menikah tanpa cinta. Kini usianya semakin menua
dan tubuhnya rapuh. Hanya beberapa kali saja aku berbicara denganya, namun aku
mengetahui siapa Zen dari nenek ku, wanita beranak satu yang dahulunya adalah seorang
janda dan Zen menikahinya. Menikahinya tanpa cinta.
Nurhayati
mungkin tak akan pernah tahu betapa Zen terlalu mencintainya, namun Zen, ia
sendiri tak akan pernah mengerti, betapa Nenek-ku sangat mencintainya meski
jiwa dan raganya semakin termakan usia, juga kenangan.