Sabtu, 29 Oktober 2011

5 Agustus 2008

3 tahun yang lalu



Gelap malam begitu sepi dengan wanginya dedaunan yang basah. Menjadikan malam ku semakin gelap karena bintang bersembunyi di singgasananya bersama sang bulan.

Aku terdiam di depan muka rumahku, sepi. Hanya sesekali semilir angin bertiup…

Fikirku melayang, kearah jauh yang paling jauh, tak ada rasa gundah akan sepinya hari, tak ada firasat akan buruknya keadaan belahan jiwa.

Mataku mulai memberat, maka terlelaplah diri ini di samping “dia” yang masih terbangun.

“dia” yang masih membelalakan matanya ke langit-langit luas, memikirkan sebuah kejemukan yang tak seorangpun mengerti kecuali dirinya sendiri.

“dia” wanita cantik nan anggun yang terbaring lemah,,, pucat pasi namun tetap memiliki sinar yang indah di wajahnya.

Rasa sakit yang iya rasa kini telah hilang, hilang karena doa dari setiap anak adam yang datang… hilang karena ikhtiar ibu bapaknya… hilang karena cintanya pada TUHAN.

“dia” masih membuka matanya melihat cakrawala malam, memperdengarkan telinganya untuk ayat-ayat cinta dari sang Pencipta…

Sedang aku terlelap tidur di samping nyaa, tidur tanpa firasat apapun…..

Malam itu, tiga tahun yang lalu…

Aku terbangun dari tidurku, terbangun karena isak tangis pilu sebuah keluarga…

Aku terbangun dari tidurku, terbangun karena suara takbir dan tasbih dari mulut anggun “dia”

Aku melihat wajahnya yang pasrah, berserah kepada sang pencipta dalam sakitnya.

Wajah seorang hamba yang hanya mencinta untuk tuhanya.

Wajah seorang hamba yang cerah tanpa kesedihan meski pintu maut di depanya…

Suaranya terbuka, mengucapkan kalimat yang membangun ke imanan untuk diri ku dan siapa saja yang mendengarnya “aku akan menginggal dunia, tuhan ku telah ridha, dan aku telah ikhlas.”

Semua yang mendengar terisak tangisanya, namun tidak untuk ku. Aku tidak bisa mengeluarkan air mata, karena ucapanya sungguh menggetarkan nurani ini. Menggetarkan seluruh peredaran darah ku yang hanya seorang manusia biasa.

Malam itu, tiga tahun yang lalu….

Air mata dari anak adam menetes melihat “dia” akan pergi, malihat “dia” mengucap takbir dengan sendirinya tanpa di bantu oleh siapapun, mengucap tasbih akan ke Esaan Tuhanya tanpa di bantu siapapun…

Sampai akhirnya…

Di malam itu, tiga tahun yang lalu…

“dia” menghelakan nafas terakhirnya, lembut… seperti nafas ketika engkau tertidur pulas dalam dekapan kapuk putih yang empuk.

Nafas nya lembut… begitu tenang dan indah

Nafasnya lembut, seperti menggambarkan ke takutan Izroil saat membawa ruh nya… ketakutan Izroil, takut bila “dia” merasa sakit saat ruh itu terlepas dari raga nya…

Izroil begitu takut, sehingga ruh di bawanya pergi dengan kelembutnya….

Malam itu… tiga tahun lalu…

Aku mengerti satu yang sering terlupakan oleh apa yang anak adam fikirkan, yaitu kematian.

Kematian yang pasti kedatanganya, kematian yang lembut, atau kematian yang kejam dari sang Izroil.

Dan kini, aku menyadari suatu hal. Bahwa sesungguhnya, kematian adalah nasihat yang diam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar